sekolah gratis, oh indahnyaaaaa.....
February 17, 2011Sudah dua hari ini, malam-malam sebelum isya saya lewatkan bersama orangtua saya untuk saling bercerita. Ya, betapa saya merindukan hal ini. Saya bercerita banyak, macam-macam. Tentang sekolah saya, kegiatan saya, ataupun hal-hal yang sepele lainnya. Ditengah-tengah pembicaraan itu, kemudian muncul satu topik mengenai sekolah saya.
Yak, jadi saya dan orangtua saya banyak membicarakan tentang dana BOPDA, SPP gratis, juga kegiatan-kegiatan kesiswaan sekolah saya yang ‘terancam’ karena, katanya, tak ada dana. Sebetulnya hal ini membuat saya bingung ya. Jauh-jauh hari sebelum ini banyak guru yang mengajar di kelas saya sering kali mengeluh tentang kebijakan baru pemerintah soal isu sekolah gratis. Ketika saya saling sharing dengan ayah ibu saya, yang juga seorang guru, mereka tak mengeluh sedikit pun tentang kebijakan dana BOPDA. Mereka juga mengomentari pemikiran saya tentang bagaimana sulitnya sekolah memberikan dana untuk kegiatan siswa nantinya.
“Sekolah itu sudah diberi dana dari pemerintah. Dua ratus lima puluh ribu lho cukup dek. Di luar itu pun masih ada dana yang lain. Ada anggarannya. Wong sekolah ibu yang kaya gitu bisa kok jalan tanpa bayar blas, cuma pake BOS. Malah masih ada lebih-lebihnya”
Semuanya itu menjadi begitu rancu. Yang bener yang mana coba. Sekolah atau orangtuaku? Orangtuaku juga guru, juga merhatiin isu sosial kaya gitu, tapi kenapa mereka nggak ngeluh semengeluh guru-guruku?
Sebelum meihat kedepan, saya lebih dahulu berusaha melihat ke belakang. Pada awal tahun ajaran baru, SPP kami dipatok dengan 425.000 dan juga sumbangan sukarela yang kata sekolah “setelah dibagi rata dengan kebutuhan siswa yang diperlukan” adalah 3.500.000 Tapi pada faktanya tidak ada perubahan signifikan yang saya rasakan. Sewaktu seminar pun, ayah saya mengatakan bahwa sekolah tidak memberi perincian apa saja yang katanya kebutuhan siswa itu. Hari-hari sekolah sudah bergulir cukup lama, AC kami belum menyala. Dengan alasan tak kuat tambah daya atau biaya bikin trafo yang mahal. Kenapa tak dipikirkan sedari dulu? LCD di kelas kami pun baru dapat kami nikmati setelah menunggu kurang lebih tujuh bulan. Kegiatan siswa? Semua kepanitiaan tetap banting tulang. Tetap mengeluh tentang dana. Semua hal sepele seperti kalender atau tanaman-tanaman, tetap siswa sendiri yang mengusahakan. Lalu uang sumbangan itu kemana larinya?
Beberapa hari lalu seorang guru saya mengeluh tentang sulitnya sekolah memberikan dana. Jadi begini ceritanya. Enam orang perwakilan sekolah saya mengikuti lomba debat ekonomi di Universitas Indonesia. Mereka berenam serta pelatih debat mereka (bukan guru) berangkat ke Jakarta dengan full biaya sendiri. Kata guru saya, sekolah tidak sanggup memberikan bantuan biaya, entah itu transport, biaya pendaftaran, atau akomodasi. Beberapa hari kemudian salah seorang teman saya sakit. Katanya, orangtuanya mengeluh kepada guru pembina kegiatan itu. Padahal guru pembina kegiatan yang seharusnya bertanggung jawab atas mereka itu, tidak bisa mendampingi mereka. Beliau tidak ikut berangkat ke Jakarta karena alasan, ya, tidak dikasih dana. Padahal SPP bulan itu juga masih bayar, coba dikalikan 425.000 x 657 = 279.225.000 Itu belum termasuk SPP kelas reguler dan belum bantuan dari pemerintah dan belum sumbangan sukarela dari wali murid. Masa nggak ada sih, dana secuil untuk mendukung siswa yang lagi lomba, padahal kan mereka juga bawa nama sekolah?
Saya juga bercerita kepada orangtua saya tentang cukup banyaknya guru yang mengeluh di kelas saya. Mereka cuma menanggapi “Nggak etis itu dek. Guru itu tidak boleh mengeluhkan tentang SPP, administrasi atau masalah sekolah di depan muridnya. Menyalahi kode etik guru.”
Bukan su’udzon atau gimana. Mungkin saya rasa transparasi tentang keuangan sekolah kurang.
Kemudian saya berbincang lagi tentang ulangan dan tetek bengeknya. Saya bilang bahwa ada beberapa mata pelajaran yang remidinya nggak bisa ditoleran. Remidi seangkatan maksud saya. Sepertinya hal ini perlu dikaji ya , bagaimana bisa begini. Tentu ada kesalahan, soalnya kah yang salah? sistem pengajarannya yang salah?? gurunya yang salah??? atau siswanya yang salah??????
Cukuplah. Sepertinya masih banyak yang harus kita dan negara ini benahi.
CHIKIANWAR.
0 komentar