I Thought He Was........

February 05, 2011

Hari itu adalah hari yang terhitung cukup melelahkan. Selepas sekolah, aku masih harus belajar lagi di sebuah kursus Bahas Inggris di dekat Delta Plaza.
Jam menunjukkan pukul 18.00, kelas berakhir. Aku terpaksa harus mengulur waktu karena aku masih harus mengirimkan email dengan memanfaatkan wi-fi gratis. Sekitar sepuluh menit kemudian, semuanya beres. Ku ambil air wudhu dan segera menunaikan sholat magrib. Sialnya, hari itu aku harus pulang sendirian, tanpa teman. Tapi tak mengapa..

Ku sempatkan diri dengan sengaja mampir ke Toko Buku Gramedia, mencari The Diary of Dajjal. Mahal, 70.000, buku yang tadinya susah-susah dicarikan penjaga toko itu akhirnya hanya kubaca covernya dan ku taruh asal ke sembarang tempat. Tak ingin pulang terlalu larut, akhirnya aku ke luar mall, mengadahkan wajah ke arah langit, ternyata gerimis mulai turun lagi, aku mulai berlari. Satu persatu anak tangga jembatan penyebrangan ku daki dengan hati-hati karena tak ingin terpeleset dengan konyol. Ku relakan saja pada akhirnya seragam, tas dan rambutku basah. Pedestrian di seberang mall itu masih cukup ramai, lampu penerangan bersinar temaram, sesekali mengecoh aku untuk mencegat angkutan umum yang salah. Akhirnya mikrolet N datang, aku naik, dan hujan pun bertambah semakin deras. Kali Mas yang hitam memantulkan cahaya langit yang juga hitam kelam tertutup awan colombus, tampak juga terpantul rintik-rintik hujan yang demikian rekatnya. Aku duduk melamun. Sepasang kawan paruh baya di bagian belakang terdengar asyik membicarakan kelapa muda. Seorang wanita karir yang duduk disampingku juga tampak diam melamun merenungi hujan. Aroma tanah Indonesia yang khas menusuk hidungku.

Tak lama kemudian, aku membunyikan bel agar mikrolet itu menepi ke arah BG Junction. Tempat aku menunggu mikrolet selanjutnya, MLK. Aku turun dengan tenang, dengan pasrah aku berjalan sambil menenteng tasku yang cukup berat tanpa berlari sama sekali. Membiarkan air hujan meresap ke pori-pori kepalaku. Aku bergabung untuk berteduh bersama orang-orang yang tampaknya juga menunggu mikrolet yang sama denganku. Dan ternyata benar, tak lama kemudian mikrolet itu muncul. Aku beranjak agar mendapatkan tempat yang cukup nyaman, sekedar tak terkena angin malam dan rintik-rintik hujan yang menyelinap. Ketika aku sudah duduk di dalamnya, aku mulai mengamati suasana.

Di samping kiriku, seorang wanita muda tengah berbincang kepada suaminya di telepon genggam. Kanan, serang bapak-bapak yang ribut menata jas hujannya. Bangku depanku, berturut-turut seorang wanita karir, seorang ibu dan anak perempuannya yang tampak dari sorot matanya, sudah sangat mengatuk. Penumpang lain adalah dua lelaki etnis tionghoa, dan seorang lelaki yang ku lihat pertama kali ketika akan masuk ke dalam mikrolet. Lelaki itu kurus, jangkung, mengenakan jaket kemeja panjang berwarna merah dengan motif kotak-kotak hitam, rambut gaya poni lempar, emo. Beberapa menit salanjutnya aku hanya terduduk diam, melamun dengan bosan. Untunglah di tengah sunyi dan dinginnya malam itu, mikrolet yang aku tumpangi menggemakan house music dangdut koplo keras-keras. Lumayanlah untuk mengusir kebosanan. Ku lirik pemuda yang duduk dibelakang supir mencopot kemejanya yang berfungsi sebagai jaket itu. Tangannya penuh dengan tato. Aku mengernyit jijik dan ilfil.
Hujan masih terus mengguyur, dentuman house music masih terus membelah kesunyian. Memasuki jalan tol, penerangan semakin gelap. Terasa mencekam. Hanya tinggal beberapa orang saja di mikrolet itu. Aku melamun, tak jelas memikirkan apa. Secara tak sengaja sudut mataku melirik ke arah pemuda kurus tak berlemak di sudut depan. Betapa kagetnya aku. Lelaki itu tampak duduk sempoyongan, kedua tangannya tertekuk didekatkan ke dadanya. Aku beku, ada yang aneh. Takut-takut kulirik lagi, kali ini kulihat wajahnya. Kepala lelaki itu tertunduk tapi berputar-putar. Matanya yangtertutup oleh poninya itu tampak setengah terpejam, tapi semua putih, hanya bola matanya yang putih saja yang terlihat. Kepalanya berputar, ke depan ke belakang. Kejang sedikit tak jelas. “SAKAU” aku berteriak dalam hati. Ya, ini pasti sakau. Aku terloncat tegang, ku pangku tasku dan merapatkan diri ke perempuan di sebelah kiriku yang tertidur. Tak berani kupandangi lelaki itu lagi. Sementara itu, wanita yang duduk berhadapan di depanku tampak santai. Ah aneh, apakah dia tak menyadari kejanggalan di pojok itu, lelaki itu? “Sakau, sakau, sakau” terus berputar-putar dikepalaku. Hujan masih turus dengan derasnya, sesekali halilintar meraung dan menjilat-jilat langit. Beberapa saat aku masih tak berani menoleh, tapi melihat perempuan di depanku tak menunjukkan ketakutan yang sama, aku mulai tenang. Lelaki itu pun juga tenang kembali. Aku terheran-heran. Is it real?


salam gaol.
chikianwar.

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe