What Does It Mean To Be A City Girl

December 07, 2016

Beautiful Artwork by Agata
Menjadi perempuan di kota besar berarti bersiap pada resiko pelecehan seksual. Di antara ramai jalanan dan gedung-gedung tinggi, tidak ada tempat bagi perempuan untuk merasa cukup nyaman dan aman.  Siulan dan godaan tiada henti mengintai setiap langkah. Bahkan hal-hal lebih buruk siap menunggu waktu untuk terjadi.

Setidaknya itulah yang saya rasakan selama 19 tahun hidup di Kota Surabaya. Sejak kelas empat SD, siulan dan godaan adalah hal yang akrab saya terima ketika berjalan di luar rumah. Ibu menjadi orang pertama yang sangat marah ketika mengetahui saya menjawab sapaan iseng tersebut. “Jangan direspon! Mau kamu dicap perempuan murahan?!” kata Ibu waktu itu. Itu adalah pelajaran pertama menghadapi catcall yang saya terima.

Tetapi apa yang saya alami selepas itu justru jauh lebih buruk. Suatu siang ketika saya bersepeda sepulang sekolah, seorang anak laki-laki menghalau jalan dan membuat saya terpaksa melambat. Namun tanpa diduga, ia memegang payudara saya yang baru tumbuh. Ia tertawa lalu berlari menghilang di gang perkampungan. Saya sangat terkejut, marah dan hanya bisa menangis. Sambil kembali mengayuh sepeda, saya terus bertanya “Apa salahku?”

Pada waktu lain, seorang bapak menaiki motor menghentikan jalan saya. Di tepi jalan raya yang ramai, ia bertanya suatu alamat dengan ekspresi gugup yang aneh. Mencium gelagat ganjil, saya mengarahkan dengan asal dan berharap segera pergi. Benar saja kemudian, bapak itu berujar “Dek, mau ngemut kontol saya nggak?” sembari meletakkan tangan di selakangannya. Darah saya berdesir dan seketika tubuh saya terasa panas. Tanpa pikir panjang lagi, saya cepat-cepat berbalik langkah menjauhinya.

Dua kejadian ini saya alami di sekitar rumah ketika masih duduk di bangku SD.

Beranjak besar, ancaman semakin berlipat. Saya bersekolah di sebuah SMA favorit di pusat Kota Surabaya. Sekolah saya terletak satu kompleks dengan tiga SMA lain. Bagi para siswanya, sekolah adalah tempat untuk belajar dan bersosialisasi. Tapi bagi para pelaku pelecehan seksual, kompleks SMA kami adalah tempat yang menjanjikan untuk menyalurkan hasrat.

Kadang saya berpikir, jika saya adalah laki-laki, pasti saya tidak akan pernah ditawar oleh bapak-bapak bermobil ketika berdiri menunggu angkutan kota. Saya dapat melenggang, berlari dengan bebas, tanpa ada seorangpun yang kurang ajar memegang pantat saya lalu kabur dengan sepedanya. Saya tidak harus menyaksikan seseorang menyodorkan penisnya di tengah angkutan kota yang penuh dengan pelajar. Menjadi seorang perempuan di kota besar berarti rentan terhadap pelecehan seksual.

Saya tidak sendiri. Ada banyak teman-teman perempuan saya yang mengalami kejadian serupa di kompleks sekolah kami. Pada suatu kesempatan reuni, kami saling berbagi pengalaman. Banyak dari kami pernah didekati oleh bapak-bapak ketika sedang menunggu jemputan di pinggir jalan. Beberapa lainnya pernah bertemu dengan eksibis. Saya dan dua orang teman bercerita bagaimana bingung, gugup, jijik dan marahnya kami ketika itu. Berbeda dengan saya yang langsung memilih pergi di tengah gemetar, seorang teman saya mengolok-olok eksibis dengan lantang. Teman-teman kami tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita tersebut.

“Kalian bisa tertawa sekeras-kerasnya, tapi kalau ada di posisi seperti itu, kalian akan mual sampai seluruh tubuhmu terasa panas,” ujarnya menutup pembicaraan kami. Semua hening dan mengiyakan, tersadar bahwa pelecehan seksual dapat terjadi pada setiap perempuan di kota ini, dan di mana saja.


Tulisan ini dimuat di webmagazine Magdalene pada 10 Januari 2016 

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe