During the Volunteering Days and What's Beyond It
December 05, 2016I was so excited when I met my team for the first time. Ada dua belas orang yang bertugas sebagai volunteer main program di venue Neka Museum. Kami berasal dari beragam daerah: Soroako, Surabaya, Yogyakarta, Denpasar, Kediri, Malaysia, Jakarta, Bandung dll. Setelah orientasi volunteer, pengarahan singkat dan makan bersama, kami dengan cepat menjadi akrab.
Keesokan harinya, aku dan beberapa teman Neka Team berjalan-jalan dan berpanas-panasan ke Campuhan Ridge Walk. Saat makan siang, aku mendapat telepon dari koordinator volunteer kami, Mbak Ratih. Ia menawarkanku untuk pindah ke area media center karena ada seorang volunteer yang tidak dapat dihubungi. Kabar itu membuatku deg-degan seketika. Alih-alih langsung mengiyakan, aku meminta waktu lima belas menit untuk membuat keputusan. Aku lalu berdiskusi dengan Ran, Oki dan Mila. Aku merasa telah klop dengan Neka Team, dengan alasan itu pula mereka menahanku. Aku juga sudah mengincar sesi-sesi UWRF yang akan kudatangi, berganti jadwal membuatku khawatir tidak bisa mendatangi sesi-sesi tersebut.
Menjernihkan hasutan Ran, Oki dan Mila untuk tetap bersama Neka Team, aku bercerita kepada mereka bahwa sejak awal aku ingin sekali ditempatkan di media center karena berhubungan dengan bidangku. Seketika, mereka bertiga langsung berbalik mendukungku untuk pindah (teman macam apa kalian ini, katanya akrab??). Akhirnya, aku menelepon balik Mbak Ratih dan mengiyakan ajakannya. Satu jam kemudian, aku sudah di-briefing, berkenalan dengan teman-teman media center dan membantu registrasi media selepas press call. Shift pertama yang cukup mengejutkan dan hectic! Tugasku di hari-hari selanjutnya diisi dengan membagikan media pass, membantu penjadwalan interview media dan pembicara, mengunggah foto-foto event di Flickr dan Facebook, menyebarkan publikasi media partner di venue serta memfasilitasi kebutuhan jurnalis mengenai informasi UWRF. Dalam satu hari, kami biasanya bekerja selama empat jam.
Bekerja di media center UWRF sangat menyenangkan. Setiap kali ada jurnalis yang akan melakukan registrasi, kami selalu bertanya media apa yang mereka wakili. Jawaban mereka pun beragam: Jawa Pos, Tempo, BBC Indonesia, MetroTV, The Jakarta Post, Kompas, GNFI, Coconuts, BAZAAR Indonesia dll. Selain media nasional, tentu saja ada banyak media asing yang meliput jalannya UWRF. Hal yang menarik perhatianku adalah mayoritas jurnalis media asing sudah berusia lanjut. Aku sangat kagum melihat banyak sekali jurnalis-jurnalis perempuan yang tetap enerjik walaupun sudah tidak muda lagi. And they are all so friendly.
Jika tidak ada shift, kami bebas mendatangi sesi-sesi yang kami incar. Dengan menjadi volunteer UWRF, kami dapat mendatangi main program secara gratis selama festival. Jika menjadi peserta, kesempatan ini berharga Rp150.000 bagi pelajar Indonesia, Rp600.000 bagi WNI, Rp1.250.000 bagi pelajar asing, Rp2.200.000 bagi pemegang KITAS dan paspor ASEAN serta Rp4.000.000 bagi WNA. I strongly recommend to any Indonesian students to use their student status wisely, because Rp150.000 is a small amount of money comparing to great experiences you can get on UWRF. Bagi WNI dan WNA biasa, tentu saja menjadi volunteer adalah pilihan yang sangat mengggiurkan untuk mendapat akses UWRF secara cuma-cuma.
UWRF is full of diversity. Itu adalah kesan utama yang belum aku temui dalam kepanitiaan lain yang pernah aku ikuti. Volunteer UWRF adalah anak-anak SMA, mahasiswa hingga kakek-kakek dan nenek-nenek. Suatu ketika, aku dibuat terkejut ketika bertemu dengan orang-orang lanjut usia yang sedang menjaga information center atau memotret sesi UWRF. Mereka ternyata juga mengenakan id card volunteer yang sama denganku. Usia tidak menjadi penghalang untuk tetap produktif.
Volunteer-volunteer UWRF berasal dari latar belakang, daerah bahkan negara yang beragam. Teman-temanku di media center misalnya, mereka ada yang berasal dari Australia, Filiphina dan Perancis. Aku berkesempatan untuk kerja bersama sembari mendengarkan cerita-cerita mereka. Cathy dari Perancis bercerita bahwa ia telah bosan travelling tanpa esensi. Ia kemudian memutuskan untuk tinggal beberapa bulan di Bali, menyewa rumah dan mempelajari budaya setempat dengan lebih dalam. Sheila dari Australia dan Cass dari Filiphina mengomentari keadaan politik di Indonesia, menceritakan makanan Indonesia favorit mereka dan pengalaman mereka bekerja di Jakarta. Seringkali aku dibuat terangguk-angguk mendengar cerita-cerita tersebut.
Tak hanya volunteer, peserta UWRF juga berasal dari berbagai negara. Bahkan sebagian besar wajah-wajah yang menjadi peserta sesi-sesi UWRF adalah orang asing. Bekerja dan berinteraksi bersama orang asing selama UWRF membuat aku tersadar bahwa mereka bisa jadi lebih menyenangkan dibanding orang Indonesia. Mereka sangat ramah dan apresiatif. Respon-respon seperti “beautiful!”, “great!”, “nice!”, “wonderful!”, “thank you so much!” sering dilontarkan. Walaupun terdengar sepele, tapi hal tersebut mampu membuat pekerjaan yang kita lakukan terasa dihargai.
Mereka juga suka berbagi cerita dan berdiskusi walaupun belum saling mengenal. Sering saya jumpai, dua orang yang baru bertemu saling menceritakan kembali sesi-sesi yang mereka datangi atau saling berbagi rekomendasi buku. Mereka juga suka bagi-bagi makanan, dark chocolate, cinnamon roll hingga ice cream!
But wait, I think I am wrong! Everybody in UWRF volunteer team and staff team are really nice. With no exception. Walaupun baru kenal, semua orang tidak ragu untuk saling membantu, berbagi cerita dan hang out bareng. I think kindess is an universal language in UWRF and Ubud in general.
We only worked together for a week but we full of new experiences, stories and insights. Ubud Readers and Writers Festival was so lovely.
(to be continue)
all photos shown are property of Ubud Writers and Readers Festival official photographers
visit UWRF Flickr account for more great photos
1 komentar