BOTM: I Am Malala
January 04, 2016
Judul: I Am Malala | Penulis: Malala Yousafzai dan Christina
Lamb | Jumlah halaman: 310 halaman | Tahun terbit: 2013 | Penerbit: Back Bay Books | Harga:
Rp 122.000
Siapa tak mengenal Malala Yousfazai? Perempuan
belia Pakistan ini menyita perhatian dunia atas kegigihannya dalam memperjuangkan
pendidikan bagi anak-anak Pakistan. Pada
2014, tepat ketika berusia tujuh belas tahun, Malala dinobatkan sebagai
penerima Penghargaan Nobel Perdamaian termuda sepanjang masa.
“I Am Malala” merupakan sebuah biografi yang menggugah. Pada bagian
pertama buku ini, pembaca akan disuguhi kisah sejarah Pakistan secara singkat. Ia
banyak menyoroti masa kepemimpinan Presiden Muhammad Zia ul-Haq pada 1978-1988.
Kebijakan-kebijakan diktator Presiden Zia banyak membatasi ruang gerak perempuan
Pakistan. Kebebasan berekspresi perempuan ditekan, bahkan mereka terancam tak
mempunyai hak untuk menikmati pendidikan selayaknya laki-laki. Pada bab-bab
pertama, Malala juga banyak mendeskripsikan tanah kelahirannya, Swat. Setiap
kalimat yang dituturkan berhasil membuat pembaca membayangkan keindahan Swat
yang dikelilingi oleh pegunungan, air terjun dan danau dengan air sejernih
kristal. Kehidupan masyarakat Swat sangat rukun dan damai. Namun, semua hal
tersebut musnah ketika Taliban menyerang. Pakistan tidak menjadi lebih baik di
bawah kuasa Taliban. Fazlullah, pemimpin gerakan Taliban, semakin menekan ruang
gerak perempuan Pakistan melalui perintah yang mengharuskan perempuan untuk berdiam
diri di rumah, perempuan dilarang bepergian kecuali dalam keadaan mendesak dan
harus selalu mengenakan kerudung. Lebih lanjut, ia melarang anak-anak perempuan
Pakistan untuk bersekolah. Gedung-gedung sekolah perempuan ditutup paksa dengan
cara dihancurkan hingga rata dengan tanah.
Sejak kecil, Malala telah bercita-cita untuk memperjuangkan pendidikan
bagi anak-anak Pakistan. Suatu hari Malala merasa sangat iba saat melihat seorang
pemulung yang berusia hampir sama dengannya. Malala kemudian berusaha
menggalang bantuan untuk anak-anak pemulung di daerah tempat tinggalnya. Namun,
tidak semua teman-teman Malala menyetujui ide itu. Ia dengan tegas mengatakan,
“Kita bisa berdiam diri dan berharap pemerintah akan membantu, tapi tidak. Jika
aku bisa membantu satu atau dua anak dan keluarga lain juga melakukan hal yang
sama, maka kita akan mampu saling menolong”. Sejak saat itulah, perjuangan
Malala dimulai. Ketika Taliban semakin berkuasa untuk menutup seluruh sekolah
di Pakistan, Malala berjuang dengan karyanya. Kemampuan menulis, berpidato dan
berbahasa Inggris mengantarkannya menjadi koresponden BBC Urdu. Di bawah nama pena Gul Makai, Malala
menceritakan bagaimana rasanya hidup di bawah tekanan Taliban. Kisah-kisah
Malala berhasil menyita perhatian New York Times. Sebuah video dokumenter
tentang kehidupan dan pendidikan masyarakat Pakistan segera mendunia. Malala
kemudian banyak diundang dalam berbagai wawancara media. Ia juga banyak
berpartisipasi dalam konferensi-konferensi tingkat dunia untuk menyuarakan hak
anak-anak Pakistan.
Membaca I Am Malala, kita akan
dibuat terpukau dengan pemikiran Malala yang begitu dewasa dan bijaksana. Siapa
sangka jika perempuan ini baru berusia delapan belas tahun? Usia belia tidak
menghalangi Malala untuk melakukan perubahan. Ia gigih memperjuangkan
pendidikan bagi anak-anak Pakistan, utamanya anak-anak perempuan. Perjuangannya
membuahkan berbagai penghargaan di antaranya Pakistan National Youth Peace Prize (2011), nominasi International Children’s Peace Prize
(2011), Nobel Prize Peace Award
(2014), runner-up TIME Person of the Year (2015). Kini Malala terus memperjuangkan
akses pendidikan bagi anak-anak dunia melalui NGO yang ia dirikan, Malala Fund.
(chk)
0 komentar