A Photo That Grabbed Your Attention
January 06, 2016Mata saya seketika terhenti pada foto di atas ketika tengah asyik membuka halaman demi halaman Majalah Tempo edisi 18 Oktober 2015. Foto tersebut sungguh dramatis, setidaknya itu kesan yang saya tangkap. Sesosok pria, yang kemudian saya ketahui bernama Hadi Poernomo, nampak memelas, lelah, dan tertekan. Muka pria separuh baya tersebut sangat pucat bagaikan mayat. Raut muka dan pandangan mata Hadi redup. Kedua telapak tangannya tertangkup layaknya orang yang memohon kata maaf. Ada rasa iba ketika menatap foto ini. Saya sendiri tak sanggup hati melihatnya. Namun, di sisi lain saya terkagum-kagum pada hasil jepretan Yuliawati, sang fotografer yang juga merangkap sebagai reporter Tempo.
Siapapun Hadi Poernomo itu, pastilah ia sedang terbelit masalah yang cukup serius. Lihat saja, ada puluhan fotografer yang berdesakan dan mencoba mengambil gambar Hadi. Pun, kerumunan fotografer tersebut tak hanya ada di belakang punggung Hadi. Pastilah di hadapannya terdapat para fotografer lain yang berdesakan untuk mengabadikan momen tersebut. Sungguh mereka lebih beruntung karena berhasil menangkap raut muka Hadi yang kuyu. Selepas puas mengagumi foto itu, perhatian saya tertuju pada sesosok laki-laki di belakang Hadi. Ia sedang tersenyum kesengsem. Mungkin, laki-laki tersebut merasa senang karena ikut terbidik kamera dan cahaya blitz. Entahlah, kehadirannya sedikit mengganggu efek dramatis dari foto itu.
Tak perlu waktu yang lama untuk mencerna apa yang sedang terjadi dengan Hadi Poernomo. Foto tersebut identik dengan tayangan berita di televisi yang menggambarkan seorang penjahat negara yang baru menjalani pemeriksaan lalu tergesa masuk ke dalam mobil sembari dirubung oleh para juru kamera dan wartawan. Foto ini mungkin diambil sesaat sebelum mobil yang ditumpangi Hadi melaju membelah kerumunan pemburu berita. Dalam bayangan saya, Hadi Poernomo pastilah sangat tertekan atas kasus yang tengah menimpanya. Ia bisa saja baru menjalani pemeriksaan dari pihak berwenang selama berjam-jam. Sebelum akhirnya dapat sedikit bernafas lega, Hadi harus menerobos kerumunan media yang telah menantinya di luar gedung.
Lalu, siapakah sebenarnya Hadi Poernomo tersebut? Foto dramatis itu secara tidak langsung menuntun saya untuk membaca artikel berita yang telah tersaji. Hadi Poernomo, atau biasa dikenal dengan sebutan Pak Pung, adalah mantan Direktur Jenderal Pajak. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dengan dugaan penyalahgunaan wewenang dalam kasus keberatan pajak PT Bank Central Asia. Kasus tersebut adalah kasus yang panjang. Awalnya, BCA mengajukan keberatan atas tagihan pajak mereka pada 1999. BCA mengklaim hanya membukukan laba sebesar Rp 174 miliar setelah rugi akibat krisis moneter. Di sisi lain, Dirjen Pajak mengoreksi bahwa BCA tercatat mendapatkan laba sebesar Rp 6,78 triliun setelah digabungkan dengan pengalihan sejumlah aset dan piutang BCA.
Empat tahun kemudian, tepatnya pada bulan Juli 2003, BCA mengajukan keberatan atas tagihan pajak sebesar Rp 6,78 tersebut. Tim Dirjen Pajak telah berancang-ancang untuk menolak permohonan keberatan BCA. Mereka telah mengirimkan risalah dan rekomendasi penolakan kepada Hadi Poernomo. Namun pada 17 Juli 2004, secara mengejutkan Hadi justru membuat nota dinas yang menyatakan bahwa keberatan BCA dikabulkan. Akibatnya, BCA melenggang bebas dari kewajiban pajak dan negara mengalami kerugian sebesar Rp 375 miliar.
Pasca Hadi Poernomo lengser dari jabatan dan digantikan oleh Darmin Nasution, audit investigasi kasus BCA dimulai. Tim Inspektorat Bidang Investigasi (IBI) Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan menghasilkan audit yang menyimpulkan adanya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat atau pegawai Dirjen Pajak dalam kasus BCA. Audit bernomor Lap-33/IJ.9/2010 tersebut dikeluarkan pada 17 Juli 2010. Akhirnya, Hadi Poernomo resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 21 April 2014. Pada hari yang sama, Hadi baru saja menuntaskan tugasnya sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan sekaligus merayakan ulang tahun ke-67. Adapun peraturan yang mendasari penetapan tersangka Hadi yaitu Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Tak terima atas penetapan dirinya sebagai tersangka, Hadi mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Singkat cerita, Hakim Praperadilan Haswandi akhirnya mengabulkan permintaan Hadi. Tepat pada 26 Mei 2015, status tersangka Hadi Poernomo dibatalkan oleh praperadilan. Hakim beralasan penyelidik dan penyidik KPK yang mengusut kasus Hadi sudah berhenti dari kepolisian dan kejaksaan. Dengan demikian, penyidikan kasus Hadi dianggap tidak sah. Putusan yang mempermasalahkan status penyelidik KPK yang tidak berasal dari Polri dan kejaksaan tersebut seketika mengancam kedudukan KPK. Ratusan kasus tindak pidana korupsi yang sedang ditangani KPK terancam berubah status menjadi tidak sah. Tidak tinggal diam, KPK mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan pada Juli 2015.
Menurut saya, tiga halaman berita yang dimuat oleh Tempo tersebut berusaha memaparkan sepak terjang Hadi dalam memperjuangkan kasusnya. Hal itu dapat terlihat jelas dari pilihan judul “Pukulan Balik Pak Pung”. Tempo ingin menunjukkan bahwa Hadi Poernomo bukanlah orang yang lemah. Bahkan, ia memiliki taktik yang berpotensi besar untuk melemahkan kewenangan KPK. Kehadiran sumber-sumber lain dalam berita ini minim yaitu hanya ditampilkan pada satu dari tiga halaman. Komentar dari pihak KPK yang diwakili oleh Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Aji bahkan ditempatkan di satu paragraf paling akhir.
Pemilihan foto memelas Hadi
Poernomo sangat berlawanan dengan isi berita yang mencitrakan bahwa ia adalah
sosok yang kuat. Namun, foto tersebut justru menambah kesan tersendiri. Foto
ini berusaha mengetuk sisi humanis pembaca, menciptakan citra bahwa Hadi
Poernomo adalah pihak yang tidak bersalah. Raut muka kuyu dan pucat dalam foto
tersebut seakan menggambarkan bahwa Hadi adalah manusia biasa yang lelah dengan
semua perkara yang menjeratnya. Foto tersebut berhasil memadukan beberapa
nilai-nilai jurnalistik dengan baik yaitu konflik, human interest, dan orang penting (prominence).
Untungnya, Tempo masih berusaha bersikap seimbang. Walaupun artikel berita tersebut menyiratkan dukungan pada Hadi Poernomo, Tempo telah menyiapkan artikel lain berjudul “Perang Banal Hadi Poernomo” dalam rubrik Opini Tempo di edisi yang sama. Rubrik Opini memang menjadi cerminan pandangan atau standing point redaksional Tempo atas berita-berita yang tengah mereka angkat dalam edisi tersebut. Artikel opini itu secara tegas menyatakan bahwa gugatan Hadi bisa merobohkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia secara sistematis. Tempo menyarankan bahwa seharusnya kepolisian, hakim dan KPK melawan manuver hukum Hadi. Tempo juga berpendapat bahwa KPK dan Kementerian Keuangan untuk tidak menyerah terhadap gerakan penggembosan pemberantasan korupsi tersebut.
Untungnya, Tempo masih berusaha bersikap seimbang. Walaupun artikel berita tersebut menyiratkan dukungan pada Hadi Poernomo, Tempo telah menyiapkan artikel lain berjudul “Perang Banal Hadi Poernomo” dalam rubrik Opini Tempo di edisi yang sama. Rubrik Opini memang menjadi cerminan pandangan atau standing point redaksional Tempo atas berita-berita yang tengah mereka angkat dalam edisi tersebut. Artikel opini itu secara tegas menyatakan bahwa gugatan Hadi bisa merobohkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia secara sistematis. Tempo menyarankan bahwa seharusnya kepolisian, hakim dan KPK melawan manuver hukum Hadi. Tempo juga berpendapat bahwa KPK dan Kementerian Keuangan untuk tidak menyerah terhadap gerakan penggembosan pemberantasan korupsi tersebut.
0 komentar