Days at the Museums
September 09, 2015
Selama
di Singapura, saya mengunjungi tiga museum: Asian Civilisations Museum,
Peranakan Museum, dan Singapore National Museum. Ketiganya berhasil membuat
saya terkagum-kagum.
Bertemu Asian Civilisations Museum Dengan Tidak
Sengaja
Selepas
berhasil menginjakkan kaki di pusat kota Singapura, tempat pertama yang saya
kunjungi adalah Asian Civilisations Museum. Sebenarnya, dua tujuan pertama saya
berdasar itinerary adalah Merlion Park dan Esplanade. Namun, saya cukup
kesulitan untuk mencapainya dari Raffles Place Station. FYI, Raffles Place
merupakan kawasan Central Business District (CBD) di Singapura. Saya sampai di
Raffles Place Station jam satu siang, ramai-ramainya pegawai kantor istirahat. Otomatis
saya yang mudah disorientasi di tengah-tengah keramaian ini jadi disorientasi
beneran. Walaupun arah menuju Merlion Park yang tertulis di itinerary terlihat
sangat simpel, saya tetep muter-muter nggak jelas. Setelah berjalan cukup lama,
akhirnya saya menemukan sebuah bangunan bertuliskan Asian Civilisations Museum!
Asian
Civilisations Museum terdiri dari dua lantai. Di galeri lantai satu, mereka
sedang mangadakan pameran sejarah perkembangan Singapura untuk merayakan Hari
Jadi Singapura Yang Ke-50 (SG50). Mereka menyajikan bagaimana Singapura
mengalami perkembangan di bidang militer, pendidikan, politik, ekonomi,
infrastruktur dll. Di lantai dua baru kita bisa mengeksplorasi lebih dalam
mengenai sejarah dan kebudayaan negara-negara di Asia, khususnya Asia Tenggara.
Galeri pertama di lantai dua adalah ancient religions gallery. Mereka memaparkan penyebaran agama Hindu dan Budha di Asia, lengkap dengan benda-benda bersejarah peninggalan peradabannya. Di Asian Civilisation Museum, semua benda-benda bersejarah dipajang secara elegan dengan bantuan display dan pencahayaan yang baik. Seluruh galeri juga berpendingin ruangan, wangi, dan bersih. Bahkan satu debu sekalipun sepertinya tak ada. Tidak ada kesan bahwa museum adalah tempat yang suram dan tak terurus di sini.
Saya
cukup heboh ketika menemukan lingga dan yoni terpajang di museum ini. Pasalnya,
ketika berkunjung ke Museum Kaliasa di Dieng, Jawa Tengah saya juga melihat hal
serupa. Meskipun berbeda lokasi dan terpisah oleh lautan, ternyata artefak
budaya Hindu yang ada tidak berbeda. Lingga dan yoni sendiri merupakan dua
pasang artefak yang melambangkan lelaki dan wanita. Lingga adalah gambaran abstrak
Dewa Shiva atau lelaki secara umum. Sedangkan yoni dengan yantra (palung) pada
bagian dasarnya menyimbolkan rahim wanita. Oleh karena itu keduanya merupakan
simbol penciptaan. Ohya, Lingga dan Yoni di Asian Civilisations Museum ini
berasal dari Kamboja.
Kebanyakan
benda koleksi Asian Civilisations Museum berasal dari berbagai daerah di Asia
seperti India, China, Vietnam dan tentunya Indonesia. Di galeri asia tenggara, mereka
cukup banyak mengulas Indonesia mulai dari Kerajaan Majapahit, Sriwijaya,
hingga sejarah singkat transisi kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Tentunya kita
juga bisa mengenal sejarah dan kebudayaan dari negara-negara lain di Asia. Selain
menampilkan patung dan stupa, ada satu galeri khusus di Asian Civilisation
Museums yang memajang perhiasan-perhiasan dari berbagai suku di Asia.
Saya
mendapatkan sedikit kejutan ketika menginjakkan kaki di galeri terakhir. Tidak
seperti galeri lain yang bernuansa gelap dan elegan, galeri flora dan fauna
Asia begitu terang benderang dan ceria. Asian Civilisations Museum mendesain
galeri ini dengan lucu. Benda-benda yang ditampilkan meliputi boneka dan
kerangka binatang endemik Asia, fakta-fakta seputar binatang, bahkan ada pula
macam-macam kotoran hewan. Di salah satu sisi galeri flora fauna Asia, kita
bisa melihat hasil gambar dan prakarya anak-anak yang dipajang dengan apik.
Galeri ini memang telah didesain khusus untuk pengunjung anak-anak. Tujuannya
supaya anak-anak merasa senang dan tidak bosan ketika mengunjungi museum.
Belakangan saya tahu bahwa semua museum di Singapura memiliki section khusus
anak-anak. Minimal mereka punya cara strategis tertentu untuk menarik hati anak-anak,
entah itu dengan cara mission game, story telling session, atau workshop
membuat prakarya. Nice!
Jika
kalian berkunjung ke Singapura, tidak ada salahnya untuk mengunjungi museum
ini. Toh letaknya pun tidak terlalu jauh dari Patung Singa di kawasan Merlion
Park. Berjalanlah ke arah underpass di dekat Esplanade Theater, kemudian lewati
taman di depan Victoria Hall yang menuju ke Empress Place. Waktu saya
berkunjung kemarin, sedang ada renovasi pada beberapa bagian yang ditargetkan
akan selesai pada bulan Oktober 2015.
Biaya
masuk ke Asian Civilisation Museum is free! Kalian bisa masuk secara cuma-cuma,
tetapi jangan lupa untuk meminta tiket di lobby ya (FYI, tiket museum di
Singapura berbentuk stiker). Untuk penjelasan yang lebih mendetail, Asian
Civilisations Museum juga memfasilitasi pengunjung dengan guided tours di
jam-jam tertentu. Cek informasi lebih lanjut mengenai Asian Civilisations
Museum di www.acm.org.sg
Terpesona di Peranakan Museum
Pada
hari ketiga di Singapura, saya mengunjungi Peranakan Museum. Sejak awal
merencakan kunjungan ke Singapura, saya sangat tertarik dengan Peranakan Museum.
Sayangnya info-info yang berhasil saya kumpulkan simpang siur, ada yang
menyatakan museum ini dapat dikunjungi secara gratis, namun ada pula yang
menyatakan bahwa museum ini berbayar. Dan ternyata…… turis wajib membayar biaya
tiket masuk sebesar $6. Tak mengapa, worth it kok :)
Selama
ini, mungkin kita sering mendengar kata Peranakan yang sering diasosiasiakan
pada suatu budaya atau suku bangsa tertentu (kalau saya sih tahunya masakan
Peranakan hehe). Peranakan dapat kita artikan sebagai orang China Selat (Pulau
Pinang, Melaka, dan Singapura). Dalam Bahasa Melayu, Peranakan berarti “anak
dari”, biasanya merujuk kepada orang China berbahasa kreol yang tinggal di Asia
Tenggara. Mereka umumnya adalah para pendatang dari negeri China yang kemudian
menikah dengan wanita asli Kepulauan Melayu. Peranakan lelaki disebut dengan
baba, sedangkan wanita disebut dengan nyonya. Hingga sekarang orang-orang
Peranakan adalah penduduk mayoritas yang menempati Singapura.
Peranakan
Museum terbagi ke dalam sembilan galeri yang menceritakan kehidupan orang-orang
Peranakan secara runtut beserta budaya-budayanya. Contohnya saja ada weddings
gallery. Kita bisa mengetahui tradisi dan ritual yang mereka praktikkan menjelang
atau selama pernikahan berlangsung. Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, pada
saat lamaran orang-orang Peranakan juga membawa berbagai macam hantaran. Ritual
ini disebut dengan Lap Chai. Salah satu hantaran yang dibawa adalah satu potong
kaki babi mentah yang dipersembahkan untuk keluarga mempelai perempuan.
Saya
tertarik dengan sebuah puisi berjudul The World Of The Nyonya yang terdapat di
weddings gallery Museum Peranakan. Puisi tersebut sangat populer di kalangan
orang-orang Peranakan zaman dahulu. The World Of The Nyonya mencerminkan tuntutan
mengenai standar ideal seorang wanita Peranakan. Sebagai seorang istri atau
menantu yang baik, wanita Peranakan diharapkan dapat berdandan dengan cantik,
memiliki kecakapan memasak, sigap membersihkan rumah, hingga menjahit. Tak jauh
berbeda dengan wanita Indonesia pada zaman dahulu ternyata. Jika Indonesia
memiliki RA Kartini, Singapura memiliki Tan Teck Neo. Ia merintis sebuah
sekolah bagi para wanita di Singapura agar mereka bisa mendapatkan pendidikan yang
sempurna. Tan Teck Neo juga dikenal sebagai salah satu penggagas dan presiden
pertama Persatuan Wanita China di Singapura.
Setelah
mencermati bagaimana kehidupan rumah tangga, saya memasuki religion gallery. Di
section terakhir galeri ini saya membaca papan peringatan yang beruliskan “Please
note that young children and sensitive people may be disturbed by the display
on the death and mourning”. Benar saja, section terakhir ini menampilkan kematian
a la orang-orang Peranakan! Museum Peranakan men-display satu set keranda mayat
dengan hiasan-hiasan persembahannya. Pencahayaan dibuat temaram sehingga muncul
kesan sendu dan duka. Menariknya lagi, mereka memperdengarkan suara-suara
ratapan dan tangisan di ruangan yang tidak cukup luas itu. Dijamin bikin
merinding.
Museum
Peranakan melengkapi galeri-galeri koleksi mereka dengan video-video terkait. Pada
sebuah monitor touch screen, pengunjung bisa menyaksikan video dokumenter dan cerita-cerita
dari orang Peranakan. Videonya bagus dan informatif, terlihat dibuat dengan
sungguh-sungguh. Melalui media ini, kita bisa lebih memahami cerita di balik koleksi
yang dipamerkan masing-masing galeri. Nah untuk menarik perhatian anak-anak,
Museum Peranakan membuat mission game. Kita bisa mengumpulkan auspicious
symbols yang ada di setiap galeri Museum Peranakan.
Tuntas
menjelajahi Museum Peranakan saya jadi tersadar bahwa konsep museum ini sangat
sederhana: memaparkan kehidupan orang Peranakan. Bayangkan saja jika Indonesia,
negeri dengan ribuan suku bangsa, memiliki museum semacam ini untuk setiap suku yang ada!
Museum
Peranakan terletak di Armenian Street. Jika menggunakan MRT kalian bisa turun
di City Hall Station kemudian jalan kaki. Informasi lebih lanjut biasa diakses
pada website www.peranakanmuseum.sg.
Mengunjungi Singapore National Museum Yang
Sedang Direnovasi
Museum
terakhir yang saya kunjungi adalah Singapore National Museum (disingkat SNM aja
ya selanjutnya). Sebelum disebut sebagai SNM pada tahun 1960, museum ini
bernama Raffles Museum. Sir Thomas Stanford Raffles lah yang berinisiatif
mendirikan museum ini pada tahun 1823. Melihat
bangunan SNM dari luar saja sudah cukup membuat saya terkagum-kagum. Megah, khas
bangunan kolonial Inggris. Sejak menghimpun informasi dari Indonesia, saya tahu
bahwa SNM sedang direnovasi secara besar-besaran sehingga membuat permanent gallery-nya
ditutup total. SNM baru akan beroperasi normal kembali pada bulan Oktober 2015.
Walaupun
demikian, saya akhirnya tetap mengunjungi SNM. Kebetulan ketika itu mereka
sedang ada pameran “50 Made In Singapore Products Exhibition” dalam rangka SG50.
Di dekat pameran tersebut ada ayunan-ayunan lucu yang bisa dimainkan oleh pengunjung. Desain ayunannya minimalis. Tempat duduknya tersusun dari
barisan bola-bola tenis, lucu sekali. Ketika kita berayun, akan ada
suara bola tenis yang seolah-olah sedang memantul di lapangan. Tidak lama
setelah saya bermain, ada petugas yang memasang banner di samping area ayunan.
Ternyata, permainan ini adalah ambient advertisment untuk kejuaraan bola tenis
yang akan diadakan di Singapura. Nice try, nice try.
Di lantai tiga SNM, ada playroom khusus untuk anak-anak.
Playroom ini berisi permainan-permainan edukatif. Mereka juga mempunyai bioskop
mini yang lucu untuk memutarkan film animasi anak-anak.
SNM juga mempunyai Museum Label, toko merchandise yang
bikin gemeeees. Barang yang dijual bagus-bagus dan bermacam-macam. Kualitasnya bahannya
bagus, desainnya juga nggak pasaran. Cocok banget pokoknya untuk dijadikan
oleh-oleh. Tapi, tapi, kita orang waktu itu harus berhemat :’)
Mengunjungi tiga museum ini di Singapura adalah salah satu
highlight dalam perjalanan saya. Saya begitu terkesan pada Singapore National Heritage
Board yang memberikan perhatian besar dalam pengelolaan museum. Mereka
percaya bahwa museum adalah pusat representasi kebudayaan. Artefak pada museum
adalah kumpulan memori yang mampu terus berbicara meskipun zaman telah berlalu. Kekaguman itu cukup untuk membuat saya
ingin mengunjungi banyak museum-museum lain di Singapura jika ada kesempatan
suatu hari nanti :)
0 komentar