Jogja: Kota Tanpa Taman

September 17, 2014

Reblog from Rizal Rizzy Facebook page


Pada suatu saat, seorang atau satu keluarga membutuhkan taman.
Ada yang ingin menenangkan diri di bawah pepohonan, di antara bunga-bunga dan atau di tepi kolam.
Ada pula yang ingin mengajak anak-anaknya berjalan, dan bermain dalam keteduhan pagi dan sore.
Dan tidak jarang, beberapa pasang jiwa butuh berbincang ditemani kicauan burung dan kerikan serangga.
Tetapi Jogja tidak menyediakan itu semua.
Untuk mengheningkan diri dan membaca di luar rumah, orang harus memilih perpustakaan dan kedai kopi.
Untuk mengajak anak bermain, keluarga pergi ke Taman Pelangi, Taman Pintar, Tamansari atau Taman Budaya.
Sayang, tidak satu pun di antara mereka yang sungguh-sungguh menyajikan taman.
Taman Pelangi adalah sebentuk area monumen yang dikelilingi amusemen berbayar.
Taman Pintar adalah sepetak lahan yang disesaki gedung-gedung penyedia jasa pembelajaran --meski selama bertahun-tahun tidak banyak perubahan.
Dan Tamansari sama sekali tidak mencerminkan sebentuk taman air; bunga tidak tumbuh secara signifikan, kolam setengah mengering dan berlumut, dan sudah pasti tidak menyediakan kolam ikan.
Taman Budaya? adalah tempat pameran, pertunjukan dan diskusi kesenian.
Semua itu jauh dari tanda-tanda keheningan, ketenangan, dan detak suara alam.
Kalau kau putus asa, mungkin kau bawa anakmu ke mal dan toko buku.
Kalau kau masih berkeras mendapatkan taman, mungkin kau akan menempuh menempuh beberapa kilometer demi menemukan sungai dan hutan-- yang tidak dapat disebut taman.
Dulu, orang pernah menaruh harapan pada Lembah UGM.
Sayang, lembah itu terlanjur menyandang kesan sebagai lembah mesum.
Lalu pihak kampus mengepungnya dengan pagar besi, sementara telaganya berubah menjadi tempat latihan berkayak, dan kursi-kursi dibuat tanpa pernah ingin diduduki.
Kawasan hutan mini di utara gedung pusat juga tertutup dari publik.
Dengan alasan konservasi, ia tidak pernah dikembangkan menjadi taman.
Yang paling memungkinkan hanya memberi kesempatan anak-anak untuk meneropong burung-burung bangau yang terbang dan hinggap.
Pemerintah kota pernah mencoba membangun taman.
Tetapi bunga-bunga dan tugu air mancurnya "hidup segan mati tak mau."
Bahkan taman di tepi jalan digilas warung-warung penjaja makanan. atau menjadi area parkir.
Tanpa gangguan itu pun sesungguhnya mereka tidak layak disebut taman.
Tempat-tempat bersejarah juga luput dari taman.
Sejak awal, pemugaran candi-candi sengaja dijauhkan dari pohon-pohon.
Mereka lebih senang jika candi dapat difoto di area yang terang (panas) dan lapang.
Bukan mengembalikannya kepada sifat alaminya; memberi keteduhan.
Ironis bukan?
Di daerah tropis seperti ini kita justru miskin pohon dan taman.
Padahal sebentuk lagu mengisyaratkan: di tanah kita, kayu dilempar pun tumbuh menjadi tanaman.
Apakah taman benar-benar telah hilang?
Tidak. taman itu masih ada di hotel berbintang, di lapangan golf, di kedai kopi berlahan luas, dan mungkin-- di hatimu.
Kini, Jogja dengan genggaman tangan penguasa lebih senang menanam beton, besi dan kaca.
Jika dulu gedung dikepung sawah. kini sebaliknya.
Dan beberapa anak yang tinggal di rumah-rumah di sisi barat apartemen tidak akan menyaksikan keanggunan mataharai pagi lagi.
Kota yang berbaring di lembah gunung ini sejatinya menjerit-jerit kepanasan di sepanjang hari.
Taman... taman...
Apakah kau hanya sebentuk kata sifat: rajin; betah?
Atau kata benda tanpa pohon, bunga dan air: wahana, ruang, tempat, kawasan dan makam.
Bahkan sejak dini, mereka telah menipu anak-anakku.
"Taman kanak-kanak" --- adakah taman di situ?

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe