MONAZITE (mozaik dua)

July 01, 2011

Aku duduk di jok belakang motor matic berwarna merah cherry yang sedang ia kendarai menyusuri malam di Surabaya. Dapat aku rasakan sepoi angin malam kota metropolitan membelai pipiku, sebagian angin berusaha masuk merasuki tubuhku melewati sela-sela jaket pinjamannya.

Malam ini ia mengajakku berwisata kuliner. Menyusuri lampu-lampu jalanan dan hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu lalang. Sesekali ia menunjuk-nunjuk papan baliho sambil mengucapkan sesuatu. Tapi aku tak bisa mendengarkan apa yang ia katakan, dan mungkin tak peduli apa yang ia katakan. Aku kembali termenung menatapi wajah-wajah orang-orang disekelilingku, memikirkan kemana tujuan mereka, siapa mereka, dan bagaimana perasaan mereka.

Empat menit kemudian, aku dan dia tiba di pelataran sebuah ruko. Setelah memarkirkan motornya ia lalu mengajakku memasuki sebuah warung tenda yang menawarkan menu bebek penyet. Seperti dugaanku sebelumnya, warung bebek yang sudah terkenal di saentero Surabaya ini dipenuhi banyak pembeli, dan, yah terpaksa mengantri. Aku mengerutkan wajah.

Dia, yang mengajakku kemari lalu menggeret tanganku untuk keluar.
“Bete ya neng?” godanya.
“Beli kacang yuk” ia menunjuk penjual kacang yang tak jauh dari tempat kami berdiri.

Aku tersenyum menatap dirinya, berusaha menghargainya. Kami lalu berjalan, dan memesan dua bungkus kacang rebus. Ia memberikan sebungkus padaku sambil tersenyum, wajahnya tertimpa cahaya lampu petromak sang penjual kacang, membuatku dapat melihat iris mata coklatnya yang bening.
Aku lalu mengambil inisiatif untuk duduk di pinggiran  trotoar, ia mengikutiku. Tak lama kemudian, ia sudah asyik bercerita mengenai banyak hal, tentang kegemarannya, dan adik-adiknya. Aku hanya diam memperhatikannya, mengamati bagaimana ia mengambil nafas disela-sela hebohnya ia bercerita dan bagaimana matanya yang memancarkan kehangatan itu menari-nari jenaka.

Aku tersenyum, dan semakin lama senyumku semakin mengembang. Kami lalu tahu-tahu sudah mulai merencanakan banyak hal untuk menjelajahi isi kota, mengunjungi tempat-tempat historikal dan mencicipi makanan-makanan yang telah banyak diulas majalah ataupun televisi. Hingga tak terasa malam sudah semakin larut, kacang kami juga telah habis, hanya tinggal kulit-kulitnya saja yang sebagian berceceran di lantai trotoar. Aku beranjak, dan menarik tangannya, mengajak pulang.

Motornya kembali menelusuri jalanan yang sama seperti tadi. Aku menggumamkan lagu, mengusir kebosanan.
“Kamu nyayi ya?” tanyanya. Ya jawabku. Lalu sepanjang jalan pulang kami mendendangkan Too Sweet To Forget milik Slank dengan suara cempreng. Hingga sampailah aku di depan rumah. Aku menyerahkan helmnya, dan tersenyum, kali ini benar-benar senyum tulus. Ia melambaikan tangan dengan muka ngaco.

“Eh kita tadi kok nggak jadi makan bebek?” tanyaku.
“Oh iya ya.” ia menggaruk-garukan tangan ke kepalanya.
“Bego. Banget.” ujarku senewen.

Kami tertawa.

You Might Also Like

1 komentar

Subscribe