Pentol

January 26, 2015

Sejak kecil, orangtua saya memiliki concern untuk membiasakan anggota keluarga memakan makanan yang sehat. Mereka selalu menekankan betapa pentingnya makan sayur dan buah. Dua hal tersebut merupakan menu mutlak yang harus ada di rumah sejak dulu hingga sekarang. Susu formula juga selalu tersaji tiap pagi, hal tersebut berhasil membuat saya terlihat lebih tinggi daripada teman-teman seusia saya ketika SD.

Tapi tak jarang, makanan yang tidak sehat terasa lebih enak dan lebih menggoda untuk dicoba. Tak selamanya orangtua saya berhasil melarang saya untuk tidak jajan sembarangan. Bersekolah dan bermain di area perkampungan menyuguhkan saya berbagai macam jajanan, sebut saja cireng, teh sisri, telur gulung, es serut, arumanis, pentol, pop ice, daaan berbagai macam jajanan tak sehat lainnya. Meskipun orangtua sering mewanti-wanti untuk tidak jajan sembarangan…. apalah artinya anak kecil tanpa jajan sembarangan ??!

Pada suatu malam selepas sholat tarawih, teman-teman saya ramai-ramai mengerubungi dan membeli pentol (bakso tusuk) yang memang mangkal di dekat masjid. Berbekal uang seribu, saya akhirnya juga ikut-ikutan jajan. Saya membawa pulang satu plastik pentol, yang tentu saja, berlumuran saus tomat yang warna merahnya tidak wajar. Masih menggamit sajadah dan mukena di tangan kiri dan pentol di tangan kanan, saya masuk ke dalam rumah. Ayah saya seketika langsung marah-marah, “Apa itu yang kamu makan? Lihat itu saosnya! Bla bla bla”. Saya kaget dimarahin, tapi juga sebal dan ingin nangis. Akhirnya saya buang saja plastik berisi pentol itu di hadapan ayah dan saya langsung lari. Dramatis. Kaya di tivi-tivi.

Saya melanjutkan main dengan teman-teman saya, daripada bete. Tak lama kemudian saya kembali ke rumah. Bertemu lagilah saya dengan ayah, saya pikir saya akan dimarahi kembali. Tapi ternyata ayah dengan penuh senyum malah menyodorkan piring kecil dengan pentol yang dilumuri dengan … kecap ?? Sambil memberikannya pada saya, ayah berujar “Lain kali kalau beli pentol nggak usah pakai saos, pakai kecap aja”. Walaupun awkward, saya kembali memakan pentol dengan anteng sembari mbatin ini apa ayah nyuci pentolku yang tadi ya….

Muahahaha.


Untungnya, ayah tidak menyuruh saya berhenti makan pentol. Walaupun pentol juga sudah jelas-jelas terbuat dari apa. Sejak saat itu saya jadi lebih berhati-hati dalam mengonsumsi pentol atau bakso. Sebisanya tidak pakai saos, atau kalaupun mau pakai sedikit saja, dan kalaupun banyak sebisanya tidak makan di depan ayah.

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe