Lokananta: Tak Ingin Mati
May 25, 2014Tulisan berikut adalah laporan field trip Komunikasi UGM ke Studio Rekaman Lokananta, Surakarta tanggal 12 Mei 2014.
All photos are credited to Herka Yanis P. due to my stupidity to bring no camera that day.
Mengunjungi Lokananta, seakan memberikan kita secercah
pengetahuan baru di balik perkembangan dunia musik tanah air. Berlokasi di kota
Surakarta, Lokananta didirikan atas prakarsa seorang tokoh bernama Utoyo, pimpinan
teknik RRI pada tahun 1956. Atas persetujuan Presiden Soekarna, barulah pada
tanggal 29 Oktober 1956 Lokananta diresmikan oleh Menteri Penerangan R.
Soedibyo dengan nama Pabrik Piringan Hitam Lokananta. Sebagai bagian dari
jawatan RRI, Lokananta didirikan untuk membantu pemenuhan negara akan audio
sera membantu kinerja RRI dengan mengelola transkrip berita serta menyuplai siaran
RRI di seluruh Indonesia.
Sebagai studio musik rekaman pertama di Indonesia, Lokananta juga
berperan besar dalam sejarah kita. Berbagai rekaman audio peristiwa bersejarah
seperti Proklamasi dan pidato-pidato Presiden Soekarno juga diabadikan olehnya.
Kesenian dan budaya Indoensia pada masa awal kemerdekaan pun berkembang berkat
Lokananta. Lagu-lagu daerah di semua provinsi Indonesia direkam ulang dan
diperdengarkan secara nasional melalui RRI. Lokananta beserta piringan-piringan
hitam yang diproduksinya juga berhasil melahirkan musisi-musisi besar seperti
Waldjinah, Gesang, Titiek Puspa, Boby Chen, Bing Slamet, Upik Samarinah dll.
Namun kini kebesaran Lokananta telah jauh tertinggal.
Memasuki studio rekaman ini, pengunjung akan disambut dengan suasana yang lengang,
bau lembab dan debu, beberapa sudut yang tak terurus, dan tak terlihat banyak
aktivitas yang berarti. Hal ini disebabkan karena sejak tahun 1972, Lokananta telah
kehilangan kegiatan utamanya sebagai produsen piringan hitam di Indonesia. Menengok
kembali ke belakang, Lokananta pun tak dapat dipisahkan dari berbagai
permasalahan mulai dari dibubarkannya Departemen Penerangan yang merupakan
induk perusahaan Lokananta, pailit, dan pendanaan yang kurang dari pemerintah. Menjamurnya
perusahaan rekaman yang lebih canggih dan terjangkau serta berbagai kemudahan
teknologi membuat Lokananta kini enggan
dilirik.
Walaupun berjalan secara terseok-seok, Lokananta tak ingin mati
berdiam diri. Studio rekaman ini tengah berupaya bertahan dan menyelaraskan
diri dengan zaman modern. Ribuan piringan hitam dan berbagai rekaman di-remastering ke dalam bentuk file digital
agar koleksi-koleksi Lokananta tak hilang digerus waktu. Lokananta juga
melayani musisi maupun masyarakat umum yang berminat mengadakan recording, semi recording dan professional
recording. Di sisi lain, untuk menambah pemasukan Lokananta membuka usaha
futsal,studio band, hingga penyewaan ruangan gedung. Upaya dan uluran tangan
pemerintah dapat dipastikan bukan merupakan andalan utama untuk menyangga
kebesaran Lokananta. Oleh sebab itulah, studio rekaman pertama Indonesia yang
telah using ini membutuhkan lebih banyak perhatian dari berbagai kalangan, baik
musisi, penggiat seni, kaum-kaum terpelajar dan bermodal hingga masyarakat
umum.
0 komentar