Daddy's Little Daughter

May 04, 2014

Siapa yang nggak suka pulang? Pulang adalah kegiatan yang menyenangkan buat anak rantauan aka. anak kos yang belajar di kota tetangga. Berhubung jarak Jogja dan Surabaya nggak begitu jauh, tiap liburan bisa dipastikan kita orang akan pulang. Kalaupun nggak ada libur panjang, masih bisa tuh mencuri-curi waktu weekend, walaupun sebenarnya juga nggak ada urusan penting di Surabaya. Cuma sekedar akal-akalan aja untuk menghemat uang bulanan beberapa puluh ribu rupiah.

Di Surabaya, di antara kesibukan glundang-glundung dan membersihkan rumah, biasanya ada satu kegitan yang tak terlewatkan. Mungkin mumpung anaknya lagi ada di rumah, maka Ayah merasa perlu untuk memanfaatkan keberadaanku. Oleh karena itu Ayah biasanya memintaku untuk membantu memotong rambutnya (dengan random) atau mengecat hitam rambutnya. Lebih sering sih dimintain tolong mengecat rambut, karena beliau sudah lebih handal memotong rambutnya sendiri secara otodidak (yang selalu berakhir dengan omelan Ibuk, lol). 

Aku bukan tipe orang yang suka disuruh-suruh, meskipun aku suka tandang gawe tapi kalau pakai acara disuruh-suruh rasanya ih-males-banget-plis-deh-hm. Makanya setiap hari Minggu pagi, di kala Ayah sudah melakukan ritual mematut-atut jambang di depan kaca, aku tahu ritual itu pasti akan diakhiri dengan acara semir rambut, yang berarti… aku pasti akan disuruh menyemirinya. Kalau benar, maka namaku akan dipanggil-panggilnya “Ki, ki, lapo?” Sebelum aku sempat menjawab Ayah pasti sudah nyamber “Semirno Ayah diluk kene!”. Dan jadilah dengan terpaksa aku menyeret kaki menghampiri Ayah yang sudah duduk manis di kursi sambil memegang semangkuk semir Bigen.

Acara mengecat rambut itu akan dimulai bersama omongan ngalor-ngidul, utamanya soal keseharianku di Jogja. Berhubung nyawa masih tertinggal di kasur, pertayaan-pertanyaan Ayah kadang kujawab sekenanya. Di tengah-tengah konsentrasiku untuk tidak menghambur-hamburkan semir, Ayah juga memberikan instruksi rambut bagian mana yang harus dihitamkan. “Nisor-nisore ojok lali dek”. Kalau sudah begini, maka entah keberapa kalipun aku menyemiri rambutnya, aku akan selalu tertampar oleh banyaknya uban Ayah. Gosh, he is growing old so fast. Semakin kusibakkan rambutnya, maka semakin jelas semua pangkal rambut Ayah sudah berwarna putih. Kontras dengan kulit wajahnya yang lebih berkeriput dan lebih legam daripada tahun-tahun sebelumnya. They said, we’re so busy growing up and we often miss the fact that our parents are growing old too. Oh I guess, yes, we do.

Maka ritual semir-menyemir itu pasti akan selalu berakhir dengan batinku yang kecut dan dipenuhi rasa bersalah. Apa yang sudah anakmu berikan? Belum ada. Bikin bangga? Ya cuma gitu-gitu aja. Parahnya lagi, kadang cuma kangen rumah dan orangtua saat uang bulanan sudah menipis. 

No matter how old I’m, I will always be your little daughter. Can we just stay like this?

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe