Merajut Cita-Cita Untuk Negeri

August 26, 2012

“Mau jadi apa cita-cita kamu?”
“Aku ingin jadi guru”
“Jadi guru?”

Balasan bernada heran seperti itulah yang selalu aku dapatkan kembali ketika kuungkapkan profesi apakah yang aku inginkan di masa mendatang. Kata mereka, menjadi guru itu bukanlah sebuah cita-cita yang layak dipertimbangkan. Mengingat gaji guru di Indonesia yang kecil, rasanya menjadi guru bukanlah sebuah profesi yang tepat untuk mencapai kemapanan dan kesajehteraan dalam hidup.

Sebenarnya aku tidak terlalu peduli mengenai pendapat orang tentang cita-citaku. Hidupku, pilihanku. Cemooh bukanlah halangan yang berarti bagiku. Namun bagaimanakah rasanya, jika justru orangtuamu sendiri yang menjadi batu ganjalan terbesar? Ya, bapak dan ibu tidak merestuiku untuk menjadi guru. Tahun terakhir SMA yang sedang aku jalani seakan berlalu dengan lamban.

“Nggak tertarik masuk fakultas ekonomi dek? Bisnis kek, manajemen, apalah terserah kamu” bapak membuka percakapan di meja makan sore itu. Beliau lalu menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya, dilirikkan matanya ke arahku.

Aku tak langsung menjawab. Pertanyaan bernada seperti ini tak bosan-bosannya ditanyakan kepadaku, setiap waktu. Baik bapak, atau ibu. Kuhelakan nafas lalu kupandang lekat-lekat wajah beliau,

“Aku ingin jadi guru pak. Mau kuliah di UPI kalau bapak sama ibu ngerestuin kuliah di luar kota, kalau nggak di UNESA aja”
“Jangan bercanda. Ibu juga yakin kamu mampu kuliah ekonomi, kamu ini anak pintar. Bukannya kamu selalu rangking satu di sekolah? Jadi guru? Bercanda kamu.” ibu menimpali, kesal.


“Kamu nggak lihat, bapak sama ibu ini sudah punya usaha besar. Jangan ngelantur! Siapa lagi yang akan meneruskan kalau bukan kamu. Buat apa kamu habis-habiskan waktu kuliah di tempat kayak gitu? Itu bukan level kamu. Anak pintar itu biasanya cita-citanya jadi dokter, menteri atau pengusaha seperti bapak ibumu ini! Hidup mapan, itulah yang diinginkan setiap orang!” 

Bapak mulai naik pitam. Aku tahu, sudah sejak lama bapak ingin aku menjadi penerus usaha industri ekspor tekstil miliknya. Mungkin sudah cukup lama pula bapak resah mendengar cita-citaku untuk menjadi guru. Aku mencoba mencerna nasihat bapak dengan kepala dingin, walupun sebenarnya ingin juga aku berteriak, membela apa yang aku inginkan.

“Justru itu pak, justru karena aku pintar, aku ingin jadi guru. Biar makin banyak pengusaha, dokter, pengacara, atau profesi apapun yang dapat aku hasilkan dari murid-muridku nantinya.” jawabku, masih dengan emosi yang tertahan.

“Kamu itu sudah tinggal nerusin kesuksesan nak. Kalau kamu kerja jadi guru, mungkin kamu nggak akan bisa kamu hidup mapan seperti kita sekarang. Ibu dan bapak sudah menyekolahkanmu di sekolah-sekolah terbaik. Coba kamu pikir ulang nak” ujar Ibu menutup percakapan sore yang terus berdengung di kepalaku pada sisa hari itu.
                                                                        ***       
Hari demi hari berlalu, masih di bawah tekanan. Kata orang jaman dulu, guru itu pekerjaan mulia. Namun sepertinya dewasa ini, semua telah berubah. Apakah kacang telah lupa pada kulitnya? Bukankah semua profesi, mulai presiden hingga pengusaha tak lepas dari didikan dan ilmu yang diberikan oleh seorang guru? Apakah sekarang semua harus diukur dengan uang? Memang mungkin bagi bapak dan ibu gaji guru tak seberapa, tak ada apa-apanya dibandingkan omzet yang bapak dapatkan dari usaha ekspor tekstil miliknya tiap bulan.

Aku melamun, jam pelajaran kosong di kelas. Namun kelas tetap hening, masing-masing sibuk dengan soal-soal latihan ujian. Maklum, sebentar lagi serentetan ujian akan segera dimulai. Kupandangi temanku satu persatu, di dalam hatiku kusebutkan tujuan kuliah setiap teman-teman sekelasku. Tak ada satu pun temanku yang ingin jadi guru atau ingin berkuliah di akademi keguruan. Aku tersenyum, tergelitik mengingat celetukan teman-temanku ketika kami ramai-ramai menuliskan mimpi-mimpi kami yang sekarang tertempel menghiasi dinding kelas. Terngiang respon teman-temanku kala itu.

“Wah jadi guru nih?”
“Kuliah di UPI?”
“Yah, bagus deh. Minimal saingan buat masuk kedokteran berkurang”
“Jarang-jarang nih ada sang juara yang mau jadi guru”

Kubuka binder catatanku, kurobek sebuah kertas,

“Dream and give yourself permission to envision a you 
that YOU CHOOSE TO BE”

Kutuliskan kata-kata tersebut, lalu kutempelkan di cover buku itu. Aku masih belajar dengan keras walaupun pintu restu orangtua terhadap cita-citaku belum dibuka. Berbagai cara beliau lakukan untuk mengubah keinginanku. Mulai dari mengantarkan diriku untuk berkonsultasi dengan psikolog hingga menceritakan kisah sukses teman-teman bapak sesama pengusaha. 

Pintu kelas terketuk, pasti guru piket pikirku.
“Ada Prahita?” sekonyong-konyong aku mendongakkan kepala.
“Iya Ibu?”
“Ditunggu di ruang BP” aku bangkit dan berjalan menuju ruang BP sambil bergumam, sepertinya tak ada kesalahan yang kulakukan akhir-akhir ini. Ternyata sesampainya disana aku sudah ditunggu oleh wali kelasku. 

Ternyata bapak melaporkan ‘kenakalanku’ pada mereka. Obrolan lalu mengalir diiringi dengan segala cerita keluh kesah orangtuaku dan keidealisan yang selama ini kupegang, untuk membangun cita-citaku menjadi seorang guru. Alih-alih beliau, wali kelasku, memberikanku jalan keluar, namun yang kurasakan sepanjang percakapan malah seolah-olah beliau bersikukuh membela keinginan orangtuaku. Aku kesal, merasa disalahkan dan dikucilkan. Konseling itu berubah menjadi panas.

“Memang pertimbangan orangtuamu ada benarnya juga, nak. Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi di samping itu kami tidak pernah diberi gaji yang setimpal. Hanya embel-embel pahlawan tanpa tanda jasa yang terus diagung-agungkan. Mungkin mereka menjebak orang-orang seperti kami ini, bapak ibu gurumu. Rasanya memang dulu kami sudah puas dengan pujian pahlawan tanpa tanda jasa. Guru bekerja banting tulang, tak peduli akan gaji yang kami dapatkan. Tapi tak lama kemudian, Ibu sendiri merasa tertipu! Kami diplonco! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati mau jadi guru. Padahal coba lihat, anak-anak pejabat pemerintah itu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya!"*)

Aku merasa tertampar seketika.
“Lalu buat apa Ibu masih jadi guru? Kalau toh Ibu tidak ikhlas mengajar. Ibu buang-buang waktu!” kuangkatkan kaki dari tempat itu secepatnya. Kecewa. Rasa-rasanya tak pantas seorang guru mengatakan hal itu kepadaku, seorang siswanya sendiri, yang bercita-cita menjadi guru. 

Kutenangkan diriku di sudut taman sekolah. Sakit sekali hati ini rasanya. Bagaimanakah bisa, ternyata sekarang, sang guru sendiri sudah tidak mengganggap pekerjaannya mulia. Ternyata memang benar apa kata bapak, batinku. 
Hidup mapan
Hidup mapan
Hidup mapan 
Kata tersebut terasa berdenyut di kepalaku. Memaksa airmata keluar.
***

Waktu berlalu dengan cepat, Ujian Nasional baru saja kuselesaikan. Lega rasanya.  Kutolak ajakan teman-temanku untuk berkonvoi. Gila saja, belum tentu lulus sudah berani-beraninya konvoi. Tidak ingat apa UMPTN yang akan menyambut setelah ini pasti berkali lipat susahnya untuk dihadapi. Kesal sendiri, akhirnya aku memutuskan pulang. 

Di perjalanan aku ragu apakah aku ingin pulang atau tidak. Situasi rumah akhir-akhir ini juga tidak kondusif. Bapak terlalu sering uring-uringan. Eropa yang merupakan destinasi ekspor tekstil dan ladang bapak mencari keuntungan selama ini sedang limbung menghadapi krisis. Saham bapak merosot tajam. Perusahaan bapak megap-megap.
Begitu sampai di rumah, benar saja firasatku. 
Bapak kolaps.

***

Sedih, iya. Tapi kata orang jika ingin sukses kita harus fokus. Untuk itulah aku tetap belajar dengan rajin dalam rangka menghadapi UMPTN dua hari lagi. Suasana rumah menjadi muram, bapak yang biasanya bersemangat kini lebih pendiam, lebih suka merenung di depan halaman belakang. Bapak belum pernah lagi bicara masalah kuliahku dan masa depanku. Selain belajar, doa tak henti-hentinya kupanjatkan, agar aku dan seluruh keluargaku diberikan kesabaran dalam menghadapi ujian ini.

Pagi hari menjelang tes UMPTN, aku minta restu kepada bapak dan ibu. Sebenarnya pikiranku masih melayang, terhadap pilihan jurusan apa yang nanti akan kupertaruhkan di dalam tesku. Pahit, rasanya tidak mungkin lagi. Ya, ambisi bapak kepadaku agar aku kuliah di jurusan perekonomian agar dapat meneruskan usahanya. Namun apakah aku direstui untuk memilih berkuliah menjadi guru, itu juga belum pasti, belum pernah terucap.

Aku sudah siap. Kupanggil kedua orangtuaku. Kucium tangannya lama-lama, aku menangis. Semakin lama aku makin tersedu. Tak berani kutatap mata bapak. Ibu mengelus-ngelus punggungku. 

Go on” kata bapak sambil mengelus kepalaku. Aku mendongak. Beliau lalu mengajak kami ke ruang ruang tamu. Kami duduk disana, hening, sampai bapak menghela nafas panjang.
“Ada sebuah kisah dari Nabi Sulaiman.” aku menaikkan alis. Beliau melanjutkan ceritanya.

“Nabi Sulaiman diberikan tiga tawaran oleh seorang raja. Yang pertama untuk menjadi orang yang kaya raya. Yang kedua untuk menjadi raja, orang yang berkuasa. Atau pilihan terakhir untuk menjadi orang yang berilmu. Ternyata Sang Nabi memilih untuk menjadi orang berilmu.” bapak tersenyum sedikit. 

“Tahu kenapa? Ternyata dengan menjadi orang berilmu, kita bisa memiliki segalanya. Dengan ilmu, kekayaan dan kekuasaan  akan selalu bisa dicari, dicapai dan dijalankan dengan baik.” sekarang aku yang tersenyum sedikit mendengar cerita bapak.
“Bapak paham sekarang. Dan bapak juga akan bangga kalau anak bapak satu-satunya ini nanti, bisa mencetak banyak orang berilmu.” aku menatap beliau dalam-dalam, mungkin mataku sudah berbinar-binar tak karuan. Bahagia.
Akhirnya, pintu itu pun terbuka.
***
Bagiku menjadi guru itu pilihan. Menjadi guru itu mulia. Menjadi guru itu wajar.
Pilihanku untuk menjadi guru bukanlah maksud untuk menolak kemapanan atau melepaskan peluang karier lain yang mungkin sanggup untuk aku jalani. Bukan sebuah pengorbanan melainkan kehormatan. Kehormatan untuk melunasi sebuah janji kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa.**)
______________________________________________________________________
*)  : Kata-kata dikutip dari cerpen Guru karya Putu Wijaya dengan perubahan
**): Kata-kata dikutip dari pengantar buku Indonesia Mengajar oleh Anies Baswedan dengan perubahan


You Might Also Like

0 komentar

Subscribe