Arek Ilang
August 22, 2012Dulu waktu tahun pertama SMP, saya ikut ekstrakulikuler basket yang diadakan sore hari setelah pulang sekolah. Karena rumah saya begitu jauh, saya memilih untuk menunggu di sekolah. Kegiatan itu biasanya berakhir sesaat sebelum magrib. Begitu pulang saya dan teman-teman biasanya berkumpul di depan gerbang, yang lain menunggu jemputan dan saya melepas dahaga di Pak Joni.
Suatu sore sepulang ekstra basket, saya masih berkumpul dengan anak-anak sampai langit terlihat cukup kelabu. Akhirnya saya pamitan ke salah satu teman saya untuk pulang. Kelihatan tidak ada jemputan yang menunggu saya, dia bertanya..
"Lho orangtuamu mana?"
Heran lalu saya membalasnya, "Hah? Ortuku ya di rumah"
"Lha kamu pulang naik apa?"
"Aku naik bemo, jalan dulu sampai ke perempatan sana"
Mungkin terkejut atau bagaimana, dia lalu membalas,
"Hah? Naik bemo?! Orangtuamu itu lho kemana Chik?! Malem-malem gini masak naik bemo"
Seketika, saya sedih mendengar perkataan teman saya itu. Bukan karena orangtua saya nyatanya memang nggak bisa tau nggak mau jemput saya dari sekolah. Tapi entah kenapa perkataan itu rasanya menyakitkan, apalagi cukup dikatakan dengan nada yang agak diteriakkan di depan beberapa teman yang masih menunggu jemputan. Apa yang salah saya juga nggak tahu, but I never felt that sad. Seakan-akan teman saya itu melihat saya seperti anak buangan, yang disia-siakan.
Memangnya kenapa kalau saya pulang sendiri, naik bemo?
Semenjak itu pula kehidupan SMP saya cukup diwarnai dengan keirian terhadap teman-teman saya yang selalu diantar jemput orangtuanya.
Tapi Sang Pengeran memang adil, beruntungnya saya diberikan teman-teman yang akhirnya menjadi teman seperjalanan yang seru. That's TC, Tandes Community (wkwkwkw). Delapan orang anak yang rumahnya di daerah Tandes juga, yang selalu pergi dan pulang naik bemo MLK
Beberapa hari yang lalu kita, walaupun nggak lengkap, sempet buka puasa bareng dan bergosip ria di kamar saya. Sama seperti dulu, mereka nggak bisa berhenti ngoceh. Adaaa saja hebohnya. Dulu memang perjalanan pulang jadi nggak terasa lama karena kita selalu bikin heboh di dalem bemo.
Pernah dulu, saya sempet cerita kejadian di atas, beberapa TC ternyata juga ada yang ngerasa gitu, ngiri sama anak-anak yang diantar jemput. Tapi kemudian Aicha dengan bijaknya berkata kalau hal tersebut bukan semata-mata masalah kesanggupan dijemput atau nggak, tapi supaya kita bisa belajar lebih mandiri, nggak menggantungkan orangtua. "Kalau nggak kayak gini lho, kita nanti malah lebih susah mandiri wah nantinya." tukasnya waktu itu membesarkan hati.
Sejak saat itu sampai akhir kelas sebelas saya masih naik bemo. Kadang bangga sih bisa kemana-mana tanpa ngerepotin orangtua, ngamatin banyak orang dan kejadian di jalan, tahu banyak blusukan Surabaya, sampai jadi punya radar otomatis buat tidur bleg-seg tanpa kebablasan. Tapi jadi sering banget dapet pertanyaan dari temen-temen "Eh Chik, kalau dari daerah X ke daerah Y, naik bemo apa ya??" Sampai kadang sensi-sensi sendiri.. Hee aku guduk anake tukang bemo =)))
0 komentar