MONAZITE (mozaik empat)

August 30, 2011


Lagi-lagi, dia melakukan hal diluar ekspetasiku,

Yah, well mungkin aku terlalu berlebihan, tapi aku tak akan menyangka kalu dia bersedia menemaniku ke tempat ini. Sebuah pasar buku-buku bekas.
Siang itu cukup terik, matahari bersinar menyala-nyala memanggang dahan-dahan pepohonan yang sudah meyerah dan meranggaskan dirinya. Asap kendaraan ditambah debu-debu jalanan dijamin bakal membuat pengguna jalan terpancing emosi. Belum lagi macet. Ah lengkaplah sudah.

Skutermatik warna merah cherry yang kutumpangi bersama dirinya tiba-tiba berbelok ke kanan, memasuki sebuah gang dengan perkampungan yang padat.
“Yakin kau lewat sini? Hati-hati.” ujarku khawatir melihat banyak anak kecil, mengingatkan dirinya yang tempramen.
“Tenaang aja” balasnya sambil menutupkan kaca pelindung helm full facenya.

***

“Jadi kamu sering kesini?” tanyanya sambil melemparkan pandangan matanya ke tempat ini.
“Yaa, begitu lah”

Kami berada di subuah pasar buku bekas di pinggiran kota. Tempat ini sering aku kunjungi, untuk alasan yang kurang jelas aku menyukainya. Aku dan lelaki bermata coklat itu kini duduk di sebuah bangku tua di bawah rimbun pohon sono, melepas lelah. Ia terus mengedarkan pandangannya ke sekitar, mengamati beberapa orang yang asyik menawar buku untuk anak-anaknya yang sedang berusaha menarik-narik tangan orangtua mereka untuk dibelikan kembang gula.

Aku tersenyum melihatnya terdiam dalam ekspresi wajah yang, ehm, normal.

Kuletakkan helmku di sampingnya, lalu beranjak meninggalkannya. Langkah kaki mulai kuarahkan ke sudut-sudut para penjual buku.
“Cari apa neng? Buku pelajaran?” tanya si pemilik stan.
“Lihat-lihat dulu bu” Aku tersenyum.
“Oya silakan masuk ini neng” Aku melangkahkan masuk mengamati buku-buku tua yang tersusun tak beraturan dalam rak-rak stan yang sempit. Ku ambil beberapa judul buku terjemahan, buku tua, tak jelas berbahasa apa.

“Hei!” aku tersentak. Ah rupanya dia. Aku mengerutkan dahi sambil menahan tawa ketika melihat dia membawa kembang gula berwarna pink ditangannya, oh sungguh tak cocok dengan wajahnya yang sangar.
“Apa ketawa?!” sentaknya.
“Ini” tangannya menjulurkan gumpalan kapas manis itu padaku, maka kuraih benda itu. Ia merangkulkan tangannya ke bahuku, mengajakku keluar. Rasanya ada yang menumpahkan air es pada ulu hatiku.

Setelah sekian lama berputar-putar dan menularkan keanehanku untuk menyusuri buku-buku bekas, kami akhirnya duduk di tempat semula. Seperti biasa, lagi, dia mengoceh dengan sangat berapi-api. Mengomentari buku antik yang ia dapatkan. Aku berusaha berpura-pura antusias mendengarkannya. Dasar bocah, batinku.

Dalam diam kukagumi matanya coklatnya yang bersinar,

Selalu.

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe