fiksi peri
August 02, 2011Langit kelabu, angin menderu, dan malam pun menjadi ragu untuk memancarkan kehangatannya. Sinar sang purnama nampak tersembunyi tak berdaya, tertahan bergulung-gulung awan tebal yang mengarak angin menjadi pusaran-pusaran kecil, menerbangkan daun-daun di dahan pepohonan kota tua.
Malam itu sunyi, lampu jalanan yang redup semakin membuat kota itu terasa mati. Sapuan angin yang begitu kering membuat sayap sang peri kecil bergemerisik. Peri itu menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa tercekam dan dibuntuti. Ia menundukkan kepalanya seraya mempercepat langkah-langkah kecilnya, berharap tak akan ada apa-apa yang menghalaunya baik di tikungan sempit yang gelap itu maupun di sepanjang perjalanan tak berujungnya.
Peri kecil, mengapa engkau tidak dapat mengepakkan sayapmu?
Peri kecil, bukankah kau seharusnya terbang?
Peri kecil, lihatlah ini, lihatlah kota kelabu ini dari udara?
Peri kecil, bukankah kau seharusnya terbang bebas di udara?
Peri kecil, peri kecil, mengapa engkau tetap berada di kota mati seperti ini?
Peri kecil dengan sayapnya yang rapuh terseduh, meratapi ketidakberdayaannya. Berusaha melompat-lompat sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat mengepakkan sayapnya dan terbang bebas. Naas, usahanya tersebut semakin menambah luka, peri kecil terjatuh, tersungkur dan membuat lututnya memerah untuk kesekian kalinya.
Berharap sinar bulan menatapnya, peri kecil memandang langit dengan mata berkaca-kaca. Menitiklah satu persatu air matanya, lalu jatuhlah air lara itu, menitik di atas ubin kota tua. Kota tua tetap bergeming, menjaga keangkuhannya. Seakan berkata, memang kau pantas untuk menyesali dosamu disini.
Peri kecil yang terbuang, dengan sejuta lara di hatinya bersimpuh, lalu ambruk.
“Untuk apa sayap, jika nyatanya tak dapat kukepakkan, aku tak butuh”
Lara itu nampaknya semakin menjadi-jadi, air mata itu telah berubah menjadi darah. Darah itu kini membasahi punggung sang peri kecil. Sungguh malang sang peri kecil, terisak-isak sendirian sambil menggenggam lembaran-lembaran sayapnya.
Kota tua tetap bergeming. Malam itu pun semakin terasa panjang, menyakiti sang peri kecil dengan luka di hatinya dan di punggungnya. Nyeri tak tertahankkan sudah tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Peri kecil yang tergeletak menengok langit yang masih tertutup awan kelabu
“Kau seharusnya disini” lirihnya.
Kota tua berdentum kencang, menjadi kota mati.
0 komentar