Salam dari Masyarakat Perbatasan #bridgingcourse
November 16, 2013
Tapi kata kakekku hanya orang-orang
kaya yang bisa minum susu
Kail dan jala cukup menghidupimu...
katanya
Tapi kata kakekku ikan-ikan kita
dicuri oleh banyak negara
Tiada badai tiada topan kau temui...
katanya
Tapi kenapa ayahku tertiup angin
ke Malaysia?
Ikan dan udang menghampiri
dirimu... katanya
Tapi kata kakek, awas! ada udang
di balik batu
Orang bilang tanah kita tanah
surga
Tongkat kayu dan batu jadi
tanaman... katanya
Tapi kata dokter Intel belum
semua rakyatnya sejahtera
Banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri
Banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri
Puisi
tersebut terekam dalam sebuah adegan di film berjudul Tanah Surga..Katanya,
sebuah karya dari sutradara Herwin Novianto yang diluncurkan pada tahun 2012,
tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2012, dua hari sebelum hari peringatan kemerdekaan
Indonesia. Film ini mengangkat isu kehidupan masyarakat Indonesia di daerah
Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia. Tanah
Surga…Katanya menampilkan ironi kehidupan sebuah keluarga yang sekaligus
menjadi cerminan dari ironi kehidupan warga negara yang tidak terpenuhi hak-hak
hidupnya secara layak.
Dikisahkan
Hasyim (Fuad Idris) merupakan seorang mantan pejuang perang konfrontasi
Indonesia-Malaysia yang selalu memegang teguh semangat nasionalisme. Ia selalu
menceritakan kisah-kisah heroik perjuangannya kepada cucu-cucunya, Salman (Osa
Aji Santoso) dan Salina (Tissa Biani Azahra), yang tinggal bersamanya. Suatu
hari Haris (Ence Bagus), anak Hasyim, datang untuk mengajak mereka semua pindah
ke Malaysia dengan alasan karena Negeri Jiran mampu menyediakan peluang hidup
yang lebih baik. Hasyim bersikeras bertahan untuk menetap di Indonesia ditemani
oleh Salman yang lebih memilih untuk tinggal bersama sang kakek.
Warna
kisah lain datang dari kehadiran Ibu Astuti (Astrid Nurdin), seorang guru yang
ditempatkan untuk mengajar di perbatasan tersebut melalui sebuah kebetulan dan
keterpaksaan. Hadir pula Dokter Anwar (Ringgo Agus), seorang dokter dari Bandung
yang ‘melarikan diri’ karena sepi
pasien. Mereka berdua hadir sebagai sosok yang mengabdikan diri untuk
masyarakat pelosok desa tersebut, walaupun berada dalam fasilitas dan keadaan
yang serba terbatas. Astuti contohnya, mengajar di sebuah sekolah yang
sebelumnya telah ditutup selama satu tahun dengan kondisi satu ruangan disekat
menjadi dua untuk kelas tiga dan kelas empat SD. Setali tiga uang, Dokter Anwar
juga harus berdamai dengan minimnya fasilitas yang ada. Pasokan obat yang tidak
memadai, jangkauan sinyal telepon genggam yang susah, serta akses menuju rumah
sakit yang sangat sulit dijangkau.
Diproduseri
oleh Deddy Mizwar, film ini tak jauh berbeda dengan nada-nada film karyanya
yang terdahulu, yaitu sarat dengan kritik akan isu sosial dan sentilan kepada
pemerintah. Deddy Mizwar mendeklarasikan Tanah Surga..Katanya ini sebagai
sebuah cerminan nyata akan kondisi kehidupan masyarakat perbatasan memiliki
banyak problem seperti yang digambarkan pada film ini, yaitu problem
nasionalisme, pendidikan dan akses untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang
layak.
Problem
nasionalisme merupakan ancaman sehari-hari yang dihadapi oleh masyarakat
perbatasan. Pembangunan dimonopoli oleh kota-kota besar di Jawa. Daerah luar
Jawa, khususnya daerah perbatasan, dianaktirikan oleh pemerintah. Sentralisasi
pembangunan tersebut akhirnya menimbulkan sebuah jurang kesenjangan. Di lain
sisi, masyarakat daerah perbatasan seakan disodorkan sebuah fakta bahwa mereka
merasa lebih mudah menjangkau negara tetangga karena minimnya perhatian
pemerintah. Pada film tersebut diceritakan bahwa masyarakat perbatasan pada
umumnya tidak mengenal mata uang rupiah. Mereka lebih sering berdagang dan
melakukan transaksi dengan mata uang ringgit milik Malaysia. Pasokan kebutuhan
pokok dan aktivitas jual beli didapatkan dari negara tetangga karena akses yang
lebih mudah, tanpa mempedulikan tetek bengek urusan imigrasi .
Pendidikan
dan pemenuhan kesehatan daerah perbatasan telah menjadi buah bibir yang telah
lama diperbincangkan. Tenaga guru dan dokter berlimpah, namun yang berani
mendedikasikan dirinya untuk turun ke pelosok Indonesia sangat jauh dari kata
cukup. Lagi-lagi permasalahan kembali pada segala keterbatasan yang harus
dihadapi, masyarakat perbatasan pun terpaksa harus hidup dalam ketertinggalan
dan ketidaklayakan. Padahal hak-hak dasar untuk mendapatkan pendidikan dan
fasilitas kesehatan tersebut telah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28C ayat 1 yang
berbunyi “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia”, serta Pasal 28H ayat 1 yang berbunyi “Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Dari
segi pemain, bisa dikatakan kualitas akting yang disajikan telah cukup prima. Tokoh-tokoh
utama dapat bermain secara natural dalam porsi yang pas. Bahkan Ringgo Agus
yang selama ini identik dengan peran-peran yang konyol dapat memposisikan
dirinya sebagai figure seorang dokter. Peran tokoh-tokoh pembantu seperti kepala
dusun, Pak Gani (Norman Akyuwen) serta celetukan-celetukan Lized (Muhammad
Rizky) dapat menghidupkan suasana film ini menjadi lebih kocak dan cair.
Dengan
segala kelebihannya, bukan berarti film yang telah meraih enam piala Festival
Film Indonesia (FFI) 2012 ini tidak mempunyai kekurangan. Keganjilan Tanah
Surga..Katanya dapat dirasakan melalui kemunculan produk-produk khas Deddy
Mizwar seperti Sosis So Nice, Promag, dan Entrostop. Hal semacam ini juga
terjadi dalam film garapan Deddy sebelumnya, Alangkah Lucunya Negeri Ini (2010).
Beruntung, iklan-iklan terselubung tersebut dikemas secara cukup wajar, tak
terlalu berlebihan dan norak seperti di film Alangkah Lucunya Negeri Ini.
Tanah
Surga..Katanya bukan satu-satunya film yang telah mengangkat isu masyarakat
perbatasan, telah lahir sebelumnya Tanah Air Beta (2010), Batas (2011), Badai
di Ujung Negeri (2011), serta Atambua 39° (2012). Namun Tanah Surga..Katanya
seakan tampak lebih mencolok dalam kancah perfilman nasional dengan
keberhasilannya memborong piala FFI 2012 untuk kategori untuk kategori film terbaik,
sutradara terbaik, penulis cerita asli terbaik, pengarah artistik terbaik, pemeran
pembantu pria terbaik, serta penata musik terbaik. Terlepas dari itu semua,
Tanah Surga..Katanya ini merupakan film pas ditonton untuk semua kalangan. Menyadarkan
masyarakat Indonesia lain bahwa kehidupan di daerah perbatasan jauh dari segala
konvensionalitas yang dapat dinikmati masyarakat pada umumnya. Bagi pemerintah,
tentu, film ini memberikan cambukan dan sentilan agar kehidupan masyarakat
pedalaman serta perbatasan lebih diperhatikan melalui kebijakan-kebijakan nyata
yang efektif.
0 komentar