MONAZITE (mozaik tujuh)
April 08, 2012Rasanya ingin
aku cakar saja wajahnya. Aku tak paham dengan macam orang yang tega menekuk
lembar-lembar buku, terang-terangan. Kalau buku miliknya sendiri sih, aku tak
peduli, ini buku pinjaman! Padahal ia sudah janji. Berandal memang, berandal!
***
Dua hari yang
lalu, ia mengetok pintu rumahku. Cengengas-cengenges di hadapan ibu, mengaku
kalau ingin pinjam buku. Entah apa modusnya tapi ia memang meminjam buku
sungguhan. Setelah kudiamkan di depan empat rak besar berisi berbagai macam koleksi
buku dan novel, tangannya meraih Madre. Ia berbalik ke arahku dan menghantamkan
pelan novel itu ke keningku.
“Dulu waktu SD,
anak-anak yang pinjem bukuku bayar” kuraih novel karangan Dewi Lestari itu dari
tangannya. “Aku sewain, sehari seribu” lanjutku.
“Jadi maksudmu
aku harus bayar, gitu?”
Aku meraba cover
novel itu, tulisan Madre dengan huruf D berbentuk kunci tercetak timbul,
memberi sensasi di perabaku. Aku menengok ke arahnya, mendengar pertanyaan
bernada tidak terima.
“Lumayan” ku
tatap lekat-lekat matanya. Sialan, batinku, badannya bau rokok.
***
Sesudah memilih
buku yang dipinjamnya, sore itu kami duduk di teras. Mengelak ia ketika kutanya
merokokkah ia hari itu. Hhh, padahal jelas-jelas bau badannya tercampur asap
rokok. Memang rasanya ingin lekas kuusir saja ia jauh-jauh dariku. Tapi rindu
menahanku.
***
“Jangan ditekuk”
ujarku ketika ia mengenakan helm motornya.
“Hm?”
“Bukunya, jangan
ditekuk halamannya”
Ia tersenyum,
lalu mengacak-acak rambutku.
“Sebaiknya
mukamu tuh yang jangan ditekuk”
Kupukul bahunya
“Seriusan!!”
“Iya-iya, janji
nyet” ia meringis.
“Sakit tahu! Aku
pulang dulu ya” ujarnya sebelum ia menarik kencang gas motornya. Tinggal aku
sendiri berdiri terbatuk-batuk akibat asap knalpotnya.
0 komentar