Menguak Senyap Sejarah Dalam The Look Of Silence
December 13, 2014
Setelah
dua kali melewatkan kesempatan untuk menyaksikan The Look Of Silence, akhirnya
pagi ini keinginan saya keturutan. Di hari terakhir Festival Film Dokumenter
(FFD) 2014, The Look Of Silence kembali diputar di IFI LIP Yogyakarta.
Sebelumnya, film dokumenter karya Joshua Oppenheimer ini telah diputar pada
pembukaan FFD 2014 (10/12) di Taman Budaya Yogyakarta dan di Fakultas Ilmu
Budaya UGM (12/12). Kedua pemutaran tersebut mendapatkan sambutan yang sangat
meriah. Salah seorang teman yang menyaksikan The Look Of Silence di FIB mengaku
bahwa malam itu ruang auditorium bahkan tidak mampu menampung penonton. Sementara
itu, pemutaran yang dilangsungkan di TBY turut dihadiri langsung oleh Adi
Rukun, tokoh sentral dalam film itu. Oleh sebab itu, pagi ini saya sengaja
datang lebih awal agar mendapatkan posisi tempat duduk yang strategis. Pukul
09.15 saya telah sampai di IFI, barulah pukul 10.00 tepat, penonton
dipersilahkan memenuhi ruang pemutaran film.
The
Look Of Silence (atau Senyap) merupakan kelanjutan dari film dokumenter The Act
of Killing (atau Jagal). The Look Of Silence secara spesifik menghadirkan kisah
keluarga Adi Rukun, mereka adalah keluarga penyintas pembantaian orang-orang
komunis (atau tertuduh komunis) yang terjadi pada tahun 1965. Adi terpaksa kehilangan
kakaknya, Ramli, dalam peristiwa kelam tersebut. Film ini menceritakan
bagaimana Adi mencoba meminta “pertanggungjawaban” dari orang-orang yang terlibat
dalam pembunuhan kakaknya. Satu persatu pembunuh maupun keluarga pembunuh ia
datangi secara terbuka. Pertemuan-pertemuan tersebut jelas tak dapat mengubah
apapun, Adi bahkan semakin dihadapkan pada fakta masa lalu yang dihadapi oleh sang
kakak serta dua juta lebih korban lainnya. Oppenheimer juga memperlihatkan Adi rekaman
wawancara dua penjagal Ramli. Mereka dengan bangga mendeskripsikan bagaimana
momen-momen Ramli dihabisi.
Secara
garis besar The Look Of Silence memberikan point of view yang berbeda dengan
The Act Of Killing. Jika dalam The Act Of Killing kita diajak bersimpati pada kekejaman
para pembunuh, di film ini kita diajak bersimpati pada para penyintas
pembantaian ’65. Seakan kembali mengingatkan bahwa, dengan alasan apapun,
pembantaian tetaplah sebuah perbuatan yang sungguh keji dan tidak manusiawi. The
Look Of Silence menurut saya lebih mudah dinikmati serta dipahami, tidak ada lagi
adegan-adegan freak seperti pada film
sebelumnya. Sisi human interest yang sangat
ditonjolkan oleh Oppenheimer berhasil membuat penonton larut pada penderitaan
yang dialami Adi. Keberadaan bapak dan ibu Adi yang sudah sangat sepuh
melengkapi film dokumenter ini menjadi semakin apik (sekaligus tragis).
FYI,
film yang telah mendapatkan delapan penghargaan internasional ini kena boikot
untuk diputar di Universitas Brawijaya, Malang. Sayangnya juga The Look Of
Silence belum bisa didownload secara gratis. Jadi, semangat ya menunggu pemutaran di kota
masing-masing! Oh ya, sebelum menonton The Look Of Silence, pastikan pihak
pemutar menjamin adanya keberadaan subtitle. Pasalnya, bahasa yang digunakan
oleh para tokoh seringkali bercampur-campur antara bahasa Indonesia, bahasa
Jawa, hingga bahasa daerah Medan. Oleh sebab itulah keberadaan subtitle baik
bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris akan sangat membantu memahami jalan
cerita. Jika film telah berakhir, sempatkanlah untuk memperhatikan credit title
The Look Of Silence. Anda akan mendapati sedikitnya nama-nama orang Indonesia
yang tercatat (atau mau dicatat) dalam proses pembuatan dan betapa banyaknya nama
ANONYMOUS pada beragam jabatan produksi. Well, a controversial issue will always
trigger a controversial effect.
0 komentar