DAD
April 03, 2011
Ada banyak hal yang bisa membuat dunia saya indah. Teman, musik, dan keluarga. Ya, keluarga.
Sampai saat ini saya bersyukur karena Allah SWT masih mengijinkan saya mempunyai keluarga yang lengkap. Ayah, ibu, dan seorang kakak laki-laki yang semua dalam keadaan yang sehat walafiat, terlepas dari ayah dan ibu saya yang sekarang ini, sepertinya, berusaha untuk berdiet. Hehehe.


Kami sudah lima belas tahun hidup bersama. Terlebih orangtua saya yang membangun kehidupan keluarga ini mulai dari nol. Saya masih ingat bagaimana dulu suasana keluarga saya ketika kecil. Kami hidup di sebuah rumah peninggalan nenek. Sering dilanda banjir tiap kali musim hujan. Air setinggi lutut menggenangi rumah kami, ayah dan ibu serta saudara-saudara sepupu saya yang juga tinggal di rumah itu sibuk mengamankan barang-barang, meletakkannya ke tempat yang lebih tinggi. Sementara aku dan kakakku, Mas Bill, bermain-main dengan air banjir dengan begitu bodohnya. Tak jarang kami bertengkar, saling ciprat-menciprat dan akhirnya dimarahi.
Di rumah itu pula saya menghabiskan masa kecil saya yang tak terlupakan. Hal yang paling saya ingat tentang masa kecil saya adalah tentang bagaimana ayah saya sering mengajak saya pergi berkeliling dengan sepeda motor yamahanya. Beliau momong saya, mengajak saya melihat-lihat burung di Pasar Kupang, membeli ikan-ikan kecildi Jl. Patua untuk ditaruh di kolam belakang rumah, melihat anak-anak seumuran saya berlatih menari di sanggar Gito Maron, meninggalkan saya di Gramedia Basuki Rachmat sementara beliau bekerja (serius, meninggalkan.), membelikan saya dan Mas Bill barang-barang kembar, terkadang ayah saya mengajak saya ke SMA YPPI di daerah Dharmahusada tempat beliau dulu mengajar.
Dulu setiap beliau bepergian ke luar kota untuk suatu acara, sepulangnya ia selalu membelikan saya dan kakak saya berbagai macam makanan seperti oreo, pop mi, tango, jelly, coklat, dan lain-lain. Beliau membelikan masing-masing satu untuk saya dan Mas Bill, dijejernya makanan-makanan itu di depan kami, sementara kami bersorak kegirangan. Pernah pada suatu hari beliau mengajak saya dan Mas Bill mandi di empang, betul sekali di empang yang airnya coklat-coklat dan notabene pernah ada anak meninggal disitu gara-gara tenggelam. Tak lupa ayah saya juga mengabadikan momen itu dalam kamera. Sepulangnya, ibu saya marah karena kelakuan beliau *ngakak guling-guling*

ini dia fotonya
Waktu kecil, beliau selalu menanyakan apa yang saya pelajari di sekolah, lalu saya bercerita panjang lebar kepadanya, setiap hari. Ayah mendorong saya untuk berkarya. Beliau mengirimkan gambar-gambar saya ke koran Surabaya Post. Ketika dimuat beliau membeli koran itu dan ditunjukkannya gambar saya yang terpampang di kolom anak-anak koran itu. Lalu beliau mengajak saya dan kakak saya mengambil honor dengan menaiki sepeda motor, waktu itu saya mendapat Rp 50.000,00 untuk sekali pemuatan.Uang itu langsung saya gunakan untuk membeli komik di Gramedia Basuki Rachmat. Ketika saya SD, beliau juga selalu menyuruh saya mengirimkan cerita-cerita pendek ke majalah Mentari. Dan sempat dimuat dua kali. Ayah saya suka melihat saya berkarya, sampai saat ini pun, ayah saya selalu mendorong saya untuk mengirimkan tulisan saya ke media massa. Tapi... *suara jangrik berbunyi*
Ayah saya lahir di Jombang. Berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Beliau sering menceritakan saya tentang bagaimana masa kecilnya. Mandi di kali, nyolong tebu, genderuwo, dan lain-lain. Ketika beliau menginjak remaja, beliau mulai tertarik dalam dunia tulis-menulis. Dari honor tullisannya yang dimuat di media massa, beliau bisa menyelesaikan kuliahnya. Kata ayah saya, dulu dia nekat ke Surabaya untuk kuliah, setiap pagi dia menumpang truk PT. PAL dari rumah saudara saya di daerah Taman, Sidoarjo untuk pergi kuliah di kampusnya, IKIP Ketintang Surabaya. Disana pula lah, ayah saya bertemu dengan jodohnya, ibu saya :3
Ayah saya orang hebat. Saya berpendapat begitu karena beliau memulai semuanya dari nol. Masa kecilnya yang serba terbatas, berlanjut ke bangku kuliah bertemu dengan ibu saya dan membangun kehidupan. Bolak-balik Surabaya-Madura ketika ibu saya pertama ditempatkan mengajar di Kalianget, Sampang, Madura. Beliau telah menerima penghargaan cumlaude pada studi S2nya dan penghargaan dari Gubernur, padahal dulu orangtua ayah saya tidak peduli apakah anaknya mau sekolah atau tidak.
Mobil pertama keluarga kami adalah Panther bekas, kini telah berganti menjadi Taruna Merah (yang bekas juga tapi bagusan, wkwk). Kini kami tidak lagi menempati rumah yang kebanjiran, kami sudah pindah di rumah keluarga kami sendiri yang dibangun dari nol. Semua adalah hasil kerja keras ayah dan ibu saya. Saya. Sayang. Ayah. Saya. *flying applause*
salam dangdut selalu
C H I K I A N W A R
0 komentar